12. Biarkan Aku Memilikimu

1.4K 178 5
                                    

Hujan turun cukup lebat siang ini. Udara yang cukup dingin semakin menusuk di dalam ruangan dengan temperatur AC yang diatur cukup rendah. Oriana sedang berdiri di tepi jendela kantornya, menikmati hujan yang menimpa gedung tempatnya bekerja itu, melihat kota yang tak pernah tidur ini sedang diguyur hujan dan membasahi hutan beton ini. Sementara itu, Jenar sedang berkutat di belakang laptopnya, memeriksa beberapa hal yang patut mendapat perhatian khusus darinya. Alisnya bertaut penuh konsentrasi, sementara tubuhnya duduk di sofa di ruangan kerja Oriana.

"Jenar, aku mau pekerjakan beberapa petugas keamanan tambahan di rumah. Menurutmu, apa aku juga perlu untuk tambahin sistem alarm?" tanya Oriana sambil kepalanya menatap pengawal pribadi dan kepala keamanannya itu. "Boleh aja, tambah CCTV di beberapa bagian, alarm di beberapa pintu juga udah cukup," kata Jenar sambil tersenyum.

Oriana menganggukkan kepalanya, lalu berjalan ke arah Jenar. Dia lalu mengambil laptop yang berada di pangkuan Jenar. Terdengar keluhan dari pengawal tersayangnya itu, namun langsung dibungkam ketika Oriana duduk di pangkuannya. Mata Jenar melebar dan wajahnya memerah, dia tampak salah tingkah. "Oriana, ka-kamu ngapain?" gagapnya. Dengan lembut Oriana menyelipkan seutas rambut di belakang telinga Jenar. "Hmm, ngapain ya?" tanyanya dengan mata berbinar, lalu tertawa kecil.

Hubungan mereka yang semakin lama semakin dekat tiap harinya telah mengaburkan batas kecanggungan. Walau pun begitu, tidak pernah ada kontak yang lebih daripada pelukan dan saling bergandengan tangan. Dan dengan Oriana yang berada di pangkuan Jenar sekarang...

"Riana, kamu mau duduk?" tanya Jenar sambil menahan nafasnya dan mengatur degup jantungnya yang berpacu. Jarak mereka sudah sangat dekat sekarang. "Aku lagi duduk kok," jawab Oriana enteng sambil mengelus lembut pipi Jenar. "I-iya, emang kamu gak pegel duduk di pangkuanku? Kan masih lega di sof-," ucapan Jenar terputus ketika dengan tiba-tiba Oriana mencium bibirnya.

Butuh beberapa detik bagi Jenar untuk memproses apa yang sedang terjadi. Oriana, wanita yang selalu memenuhi pikiran, benak, dan waktunya, wanita yang selama ini menjadi impiannya, yang bahkan bisa memeluknya saja bagaikan mendapatkan mukjizat dari langit, sekarang benar-benar menciumnya. Dan bukan hanya ciuman di pipi bagaikan seorang sahabat atau teman, tapi ciuman di bibir. Ciuman yang menuntut untuk segera dibalas, yang penuh dengan perasaan yang selama ini sudah terpendam. Ciuman pertama bagi Jenar yang terasa manis dan menyenangkan.

Ketika otaknya sudah mampu untuk kembali memproses apa yang sedang terjadi, tanpa pikir panjang Jenar membalas ciuman Oriana. Dari sebuah ciuman yang hangat dan penuh perasaan, makin lama makin bergelora dan panas.

Akhirnya, dengan segenap kesadaran yang masih tersisa, Jenar memundurkan kepalanya untuk mengambil nafas. Dia menatap mata Oriana, wajahnya terlihat tak suka jika Jenar mengakhiri ciuman mereka. "Sebelum kamu protes, itu tadi apa?" tanya Jenar kepada Oriana, matanya menatap dalam ke mata Oriana, berusaha mencari kejujuran di pancaran mata yang membuatnya selalu berharap selama ini. Tersenyum, Oriana lalu menjawab Jenar. "Menurutmu apa? Kamu membalas ciumanku aja udah dari cukup untuk aku tau kalau kita punya perasaan yang sama," jawabnya ringan, lalu dia hendak berdiri dari pangkuan Jenar. Dengan sigap Jenar meraih pinggang Oriana dan menahannya untuk bangkit.

Mata Oriana kembali beradu pandang dengan mata Jenar. "Kenapa?" kembali pertanyaan dari Jenar terlontar. Oriana menghela nafas. "Aku itu udah tau kalau kamu juga sayang kan sama aku? Please jujur sama aku, jangan bohong," Oriana menuntut dan Jenar akhirnya mengakui dengan menganggukkan kepalanya. "Dan aku gerah aja gitu, kamu tuh udah tau perasaanku, tapi kamu gak pernah berani ungkapkan ke aku," Oriana lalu memanyunkan bibirnya dengan menggemaskan.

"Aku lebih berani untuk baku hantam dengan seribu orang dari pada aku ungkapan perasaanku ke kamu, Ri," Jenar dengan jujur mengakui dan Oriana tertawa mendengarnya. "Kenapa emangnya? Otot aja yang keras tapi hatinya ciut juga mau ungkapkan perasaan," kata Oriana sambil menjentikkan jarinya di ujung hidung Jenar. Lalu dia melingkarkan kedua tangannya di tengkuk Jenar sambil sesekali mengelus kepala Jenar dengan sayang.

A Soul Called HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang