Hari-hari berjalan seperti biasanya, dengan Jenar dan Oriana yang sibuk dengan pekerjaan dan percintaan mereka yang semakin hari semakin hangat. Semakin hari, walau pun mereka sama-sama sibuk, tapi mereka saling melengkapi dan saling mengisi. Tapi hari ini, Jenar memutuskan untuk mengambil cuti selama sehari. Bukan karena dia ingin pergi berlibur, tapi dia merasa sangat lelah dan mungkin libur sehari saja bisa menambah energinya.
Tak banyak yang dilakukan oleh Jenar di hari cutinya ini. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur dan sekedar meregangkan pinggangnya dan tak banyak berpikir yang berat-berat. Sementara Oriana tetap pergi bekerja seperti biasa. Sambil tidur-tiduran di sofa ruang keluarga, Jenar sudah mulai sedikit mengantuk setelah makan siang dan dia tidak melakukan apa-apa. Bosan dengan acara di televisi yang itu-itu saja, Jenar memutuskan untuk memainkan lagu di perangkat pengeras suara. Dari jutaan lagu, pilihan jatuh kepada lagu dengan aliran bossanova. Lalu, ia berjalan menuju dapur untuk membuat segelas es kopi. Ketika dia sedang menikmati segelas es kopinya sambil menganggukkan kepalanya mengikuti alunan irama.
Baru saja dia mendudukkan dirinya di sofa, Seto sang satpam rumah, datang ke hadapan Jenar. "Mbak Jenar, ada yang cari Mbak," katanya kepada Jenar yang alisnya terangkat. "Saya? Siapa?" tanyanya seraya tangannya meraih ponsel untuk membuka aplikasi yang terkoneksi langsung dengan kamera CCTV di rumah Oriana ini. "Ngakunya, sih, ibunya Mbak Jenar," tepat ketika Seno mengatakan itu, Jenar langsung terduduk tegak dan menatap layar ponselnya. "Suruh dia tunggu di depan, gak usah masuk," kata Jenar tajam, lalu dia mengetik pesan dengan cepat kepada Oriana untuk memberi tahu kekasihnya itu bahwa ibunya datang ke rumahnya.
Dia lalu berjalan ke depan rumah, dan ketika dia sampai di halaman rumah, dia lalu menyapa wanita setengah baya yang tengah berdiri itu. "Ibu, kok Ibu ke sini?" tanya Jenar sambil mencium tangan ibunya itu. Senyuman terkulum di bibir Ibu. "Gak apa-apa, Ibu kangen sama kamu," ucapan Ibu membuat Jenar mengerenyitkan dahinya. Ada sesuatu yang tak beres. "Ya udah, Ibu tunggu di sini. Saya ganti baju dulu, kita ngobrol di tempat lain," kata Jenar, lalu masuk ke dalam rumahnya. Dia menganggukkan kepalanya kepada penjaga rumah lain, memintanya untuk mengawasi ibunya itu.
Segera saja Jenar berganti pakaian dan mengambil kunci mobil, lalu dia mengeluarkan mobilnya. "Bu, naik," ucap Jenar kepada Ibu melalui jendela mobilnya, lalu Ibu masuk ke dalam kursi penumpang depan. Jenar lalu mengarahkan mobil keluar dari rumah Oriana. "Kamu udah sukses, ya, sekarang," ucap Ibu sembari tersenyum dan memandang interior mobil Jenar. "Saya belum sukses. Ini semua pinjaman dari bos saya," jawab Jenar singkat, berbohong. Dia mengarahkan mobilnya ke sebuah kafe. Tak banyak pembicaraan di antara mereka berdua, memang sedari dulu Ibu dan Jenar tak pernah dekat. Jenar memarkirkan mobilnya di sebuah kafe, lalu dia keluar dari mobilnya bersama dengan Ibu.
Setelah duduk di sebuah meja yang lumayan jauh dari pendengaran orang-orang dan memesan penganan untuk mereka berdua, Jenar lalu menatap ibunya itu. "Jadi, ada apa Ibu tiba-tiba datang ke rumah bos saya? Jangan bilang karena Ibu kangen, karena itu gak Ibu banget," Jenar menambahkan ketika Ibu mau menyela ucapannya. Ibu kembali tersenyum. "Ya, gak apa-apa dong kalau Ibu mau tau kabar anak Ibu. Udah lama gak ngobrol soalnya," jawab Ibu sambil tersenyum, namun Jenar menatap apatis Ibu. "Bu, kita ngomong seperlunya sejak puluhan tahun, yah, walau pun belakangan karena Ibu minta uang ke saya, sih," ucap Jenar sambil menghela napas. Kali ini Ibu menatap Jenar. "Emang kamu gak mau tau kabar Bapak juga?" tanyanya dan Jenar menggeleng. "Untuk apa, Bu? Dia bukan bapak kandung saya. Lagi pula, dia juga gak perduli sama saya," jawaban dari Jenar membuat Ibu diam.
Hening lama hingga seorang pelayan membawakan pesanan mereka. Setelah pelayan itu pergi, Jenar akhirnya mengakhiri keheningan itu. "Jadi, Ibu butuh uang berapa banyak lagi?" tanya Jenar sambil menyeruput kopi dari cangkirnya. Tidak ada tanggapan. "Ibu dan Bapak mau bercerai," kata Ibu mendadak dan Jenar mengangkat alisnya. "Kok? Kenapa?" tanyanya datar. Helaan napas berat terdengar dari Ibu. "Bapak ternyata tukang kawin di belakang Ibu, dan uang darinya gak pernah cukup untuk kebutuhan rumah, ternyata uangnya semua untuk istri-istrinya yang lain. Rumah juga digadai sama dia diam-diam," kata Ibu menjelaskan semuanya. Namun, Jenar masih belum mempercayai Ibu. "Bu, uang yang saya kirim tiap bulan itu gak sedikit, loh. Masa iya masih kurang? Dan semua hutang Ibu udah saya lunasi," benar-benar tak masuk akal jika Ibu bilang uang selalu kurang. Dia menatap tajam Ibu, mencoba mencari kejujuran dari segala ucapan wanita di hadapannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Soul Called Home
RomanceLGBTQ+ CONTENT! GXG! Hingar-bingar kehidupan di Jakarta tak seelok cerita orang. Ketimpangan sosial menjadi pemandangan sehari-hari. Tak henti tiap insan mencoba peruntungan demi sesuap nasi dan sesenti harga diri. Oriana, seorang wanita sukses dan...