18. Mahameru dan Segala Permohonan

704 104 5
                                    

Alarm ponselnya berbunyi, yang berarti sekarang sudah pukul dua lewat lima belas pagi. Segera saja Jenar keluar dari kantung tidurnya, bergidik kedinginan. Dia lalu membuka pintu tendanya dan melihat ada beberapa pendaki yang sedang bersiap-siap juga untuk memulai pendakian yang berat. Jenar menyalakan tungku portable-nya, memasak air, dan membuat makanan. Dia lalu mengirimkan pesan kepada Oriana, memberi tahunya bahwa dia akan memulai pendakian ke Mahameru dan memintanya agar jangan khawatir.

Setelahnya, Jenar lalu berkemas dan tepat jam tiga pagi, dia sudah siap untuk melanjutkan pendakian. Jalur menuju Cemoro Tunggal adalah jalur pendakian yang sangat berat, kemiringan yang luar biasa, dan sudah tidak ada vegetasi di sekelilingnya. Tantangan sudah ada di depan matanya. Ketika Jenar menyampirkan tas di bahunya, ada yang memanggilnya, yang ternyata Indira. "Nar, summit bareng aja yuk," ajak Indira yang membuat Jenar mengerenyitkan alisnya. "Kapan kamu sampainya di sini? Kok saya gak lihat," tanyanya sambil mengancingkan tasnya. "Jam delapan aku baru sampai, dan langsung camp di sini. Yuk, mau kejar sunrise kan?" tanya Indira. Jenar menghela napas dan dia pun ikut berjalan dan menyalakan senter di kepalanya.

Mereka bercakap sesekali, namun mereka benar-benar tak berbicara ketika melihat sudah hilangnya pepohonan dari hadapan mereka. Di sebelah jalur pendakian ini, terdapat jurang yang sangat terjal, yang sudah menelan nyawa entah berapa banyak dari pendaki-pendaki lainnya. Langkah kaki Jenar terus berjalan hingga kakinya menginjak batuan keras.

Sebuah siluet pohon cemara di kejauhan, pohon cemara yang sangat terkenal ini adalah Cemoro Tunggal. Entah bagaimana pohon cemara ini bisa bertahan hidup sendirian di sini, tahan oleh erupsi dari Semeru yang maha dahsyat. Dengan sangat hati-hati dan waspada, Jenar menanjak menuju Mahameru. Abu vulkanik bertumpuk, batuan besar terhampar sembarangan, jalanan yang tak rata, serta oksigen yang terasa semakin menipis menambah kesulitan untuk mencapai titik tertinggi di Pulau Jawa ini.

Tubuh Jenar terasa ditarik seluruh ototnya pada setiap jejaknya, ditambah dengan berat dari beban yang berada di punggungnya. Tenggorokannya dengan cepat terasa kering, terasa sedikit mual, dan keringat mengucur deras di balik jaket tebalnya. Dia ingin menyerah saja rasanya, meminum semua persediaan airnya, namun ia harus menahan keinginan impulsif yang dapat membahayakan dirinya itu. Ia mengeraskan dirinya dan memikirkan senyuman Oriana, memikirkan bahwa Oriana yang akan menyambutnya turun nanti di Surabaya.

Tatapan matanya terus fokus menuju jalanan di langkahnya. Salah satu langkah, maka dia akan kehilangan kesempatan di Mahameru atau bahkan kehilangan nyawanya. Dia terus menanjak. Hingga akhirnya langkahnya terhenti ketika dia mendengar jeritan. Segera dia menoleh dan ternyata dia sadar bahwa dia sudah menanjak lebih dulu dari pada Indira dan kawan-kawannya. Tampak rombongan kawan Indira sedang mengerumuni seseorang, maka dengan berat hati Jenar turun untuk melihat. Ternyata Indira yang terjatuh dan dikerumuni oleh teman-temannya, dia memegang pergelangan kakinya. "Kok bisa?" tanya salah seorang temannya.

"Kakiku nyangkut di batu. Aduh, sakit banget," katanya sambil memegang pergelangan kakinya. "Gimana, nih, kayaknya Indy gak bisa lanjut summit?" tanya temannya yang lain. Mereka saling bertatapan. "Kalian lanjut aja, aku disini aja, paling turun sedikit sampai Cemoro Tunggal dan tunggu kalian," kata Indira sambil berusaha berdiri, namun dia meringis kesakitan. Para teman Indira saling bertatapan. "Ini, bawa tracking pole saya," kata Jenar sambil memberikan tracking pole miliknya kepada Indy yang menerimanya. "Aku temani Indy aja deh, kalian summit ya," kata salah seorang teman Indira dan yang lain mengangguk.

Jenar membantu Indira untuk berdiri, dimana dia mengalungkan lengan Indira di tengkuknya, lalu mengangkatnya untuk berdiri. "Kamu gak mau temani aku?" tanya bisik Indira kepada Jenar yang terdiam. "Kan, udah ada yang temani kamu. Nanti pas turun, saya akan bantu kamu," kata Jenar lalu melepaskan lengan Indira dari tengkuknya dan dengan hati-hati menyerahkannya kepada teman Indira yang bernama Lala. Setelah berpamitan, Jenar lalu mulai mendaki lagi, sedikit kesal karena dia harus mengeluarkan energi yang tak diharapkan. Matahari mulai terlihat di ufuk timur, artinya mungkin Jenar sudah mendaki lebih dari dua jam.

A Soul Called HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang