21. Sebuah Cara Cerdik

659 109 1
                                    

Iringan mobil Oriana sampai di depan sebuah rumah yang letaknya sangat terpencil. Akses menuju ke sana pun lumayan menantang. Rumah itu sangat sederhana, berlantai satu, dengan sebuah lampu pijar kekuningan menyinari terasnya. Tak ada lampu penerangan jalan, di sisi jalan hanya ada jurang dan hutan. Di depan rumah itu, terparkir mobil Jenar. Oriana meminta semua orang untuk menunggunya di mobil, sementara dia berjalan menuju rumah itu. Renus mendesak untuk ikut, berjaga-jaga jika ada sesuatu hal yang tak diinginkan terjadi. Sayangnya, Oriana menolak dan mengatakan bahwa dia akan bertemu dengan Jenar sendirian. Langkah Oriana ketika berjalan mendekati rumah itu harus berhati-hati, karena jalanan yang tak rata dan penuh dengan tanah merah.

Ketika akhirnya sampai di depan pintu, Oriana mengetuk rumah itu. Seorang lelaki yang sudah sangat tua membuka pintu rumah itu, kulitnya penuh dengan keriput, tubuhnya sudah sangat membungkuk, rambutnya sudah putih seluruhnya dan botak di bagian tengahnya. Kulitnya yang terbakar sinar matahari selama entah berapa puluh tahun menyiratkan bahwa lelaki ini adalah pekerja keras hingga ke usia senjanya. "Iya, cari siapa, Neng?" tanyanya ramah dengan logat Sunda yang kental. Oriana tersenyum kepadanya. "Permisi, Pak. Saya cari Jenar, apakah dia ada di sini?" tanya Oriana lembut seraya tersenyum ramah. "Jenar? Oh, Si Geulis! Sebentar, saya panggilkan dulu. Neng dari mana?" tanyanya ramah sebelum membalikkan tubuh rentanya. "Saya Oriana, Pak, teman dari Jenar," jawab Oriana. Kepala lelaki itu mengangguk-angguk dan membalikkan tubuhnya.

"Masuk, Neng. Itu temen-temennya juga ajak masuk aja, banyak nyamuk," katanya dengan sangat hangat kepada Oriana. "Gak apa-apa, Pak, mereka memang mau menunggu di mobil aja," jawab Oriana. Lelaki itu terkekeh lalu berjalan lamban ke dalam seraya memanggil-manggil. "Geulis! Kadieu heula! Ada temen kamu ini. Geulis!" panggil lelaki itu, lalu tubuhnya menghadap Oriana. "Sebentar, ya. Tidur mungkin," katanya, lalu kembali berjalan ke dalam sebuah kamar. Dia membuka tirai yang berperan sebagai pintu dan berbicara dalam bahasa Sunda. Tak lama, ada yang keluar dari kamar itu, Jenar. Dia tampak kaget melihat Oriana yang berada di sana. "Riana?" tanyanya kaget, apalagi dia tampak seperti baru bangun tidur.

"Nar," sapa Oriana yang menahan tangis. "Kok, kamu bisa tau aku di sini? Kamu sama siapa?" tanya Jenar seraya menghampiri Oriana dan melihat ke arah keluar. "Gak penting aku bisa tau kamu dari mana, kenapa kamu ke sini gak ngomong-ngomong sama aku, Nar?" tanya Oriana yang tak lagi dapat membendung air matanya. Jenar menengok ke belakangnya, lalu merangkul Oriana untuk berjalan keluar dari rumah. "Di luar aja. Gak enak kalau di dengar sama Mang Urip," katanya pelan sambil mereka berdua jalan keluar rumah. Jenar menutup pintu depan, lalu mengarahkan Oriana untuk berjalan ke salah satu sisi halaman yang cukup luas itu.

"Nar, jelasin sama aku!" kata Oriana sambil terisak. Tak ada jawaban dari Jenar, dia hanya menunduk. "Aku..., lebih baik kita udahan aja, Ri," kata Jenar sambil menunduk. Serasa disambar oleh gledek yang tak terlihat, Oriana membelalakkan matanya dengan tak percaya. "Apa? Putus? Kamu kenapa, sih?" tanya Oriana yang kali ini tangisannya mulai tak terkendali.

Dengan cepat Jenar berusaha menenangkan Oriana yang sekarang sedang tersedu-sedu. "Ri, aku udah rusak kesetiaanku ke kamu. A-a-aku udah gak p-pantes untuk kamu," kata Jenar tergagap, namun Oriana menatap mata Jenar dengan tajam. "Kamu gak setia sama aku? Kamu selingkuh? Sama siapa? Jawab, Jenar!" kali ini Oriana sudah terlihat sangat emosi. "Aku gak..., aku gak tau ini selingkuh atau gak, tapi Indira tadi cium aku dan aku sekarang..., sekarang aku ngerasa bersalah banget sama kamu, Ri. Kamu pantas untuk benci aku, pukul aku, terserah," kata Jenar sudah sangat stress.

Terdiam karena mendengar nama Indira, Oriana lalu menangis lebih kencang. "Tega banget kamu, Nar! Apa kurangnya aku?" tanya Oriana tersedu-sedan. Melihat kekasihnya yang sudah hilang kendali ini, Jenar dapat memaklumi. "Kamu gak kurang apa-apa, Ri. Aku juga gak tau kalau Indira mendadak langsung cium aku gitu aja. Padahal..., padahal aku abis minta d-dia untuk gak usah ganggu hidupku lagi," jawab Jenar cepat dan tergagap. Tangis Oriana terhenti. "Gimana? Kamu ceritain semuanya, Nar, jangan bohong!" Oriana memperingati Jenar dengan galak. Kepala Jenar menangguk, lalu dia mulai menceritakan segalanya, mulai dari ibunya yang tiba-tiba datang ke rumah Oriana hingga dia ke rumah Jenderal Umar.

"... ya aku langsung labrak Indira, bilang ke dia kalau gak usah ganggu hidupku lagi. Dia gak banyak ngomong, diem aja pas aku marahin dia. Dan tiba-tiba aja, dia cium aku. Jujur, aku langsung nge-blank, bingung, jijik, marah, semua jadi satu. Aku langsung pergi, kepalaku kosong gak bisa mikir. Dan aku gak bisa pulang, karena aku juga merasa bersalah sama kamu. Aku muter-muter ke sana-sini, gak ada arah dan kosong aja pikiranku. Dan akhirnya aku putuskan untuk ke sini, ke rumah Mang Urip, saudara jauhku. Aku mau menghilang rasanya," panjang lebar Jenar menjelaskan semuanya kepada Oriana, air matanya menetes ke pipinya. Oriana diam saja. "Jadi, kamu kabur ke sini karena kamu udah dilecehkan sama Indira, dari pada kamu jelaskan semuanya ke aku?" tanya Oriana dan Jenar mengangguk. Kepalanya terus tertunduk sedari tadi, terlalu malu dan bersalah. Tanpa disangka, Oriana memeluk tubuh Jenar. "Sayang, aku gak akan marah sama sekali sama kamu. Kenapa kamu berpikiran gitu, sih?" tanya Oriana di pelukan Jenar, yang tak dijawab.

"Pulang, yuk. Rumahku adalah rumahmu juga, Sayang. Aku gak marah sama kamu, sama sekali aku gak marah sama kamu. Tapi, aku marah banget dengan ibumu dan Indira. Kita cari solusinya di rumah, ya," ajak Oriana kepada Jenar yang masih menangis. "K-k-kamu beneran gak marah sama aku?" tanya Jenar dan Oriana tersenyum seraya menangguk. "Kenapa aku harus marah dengan orang yang gak salah sama sekali?" tanyanya lembut, melepaskan pelukannya, dan tersenyum lembut. Jenar diam saja.

Oriana lalu berjalan menuju para pengawalnya, sementara Jenar berjalan masuk ke dalam rumah dan hendak berpamitan dengan Mang Urip. Setelah berpamitan dan berterima kasih dengan Mang Urip, Jenar masuk ke dalam mobilnya, dimana Oriana masuk ke kursi penumpang depan. "Kamu kenapa gak ikut di rombongan belakang aja?" tanya Jenar sambil mengelus pipi Oriana. Senyuman terkulum di bibir Oriana. "Aku kangen kamu. Pengen sama kamu," ujarnya seraya menggenggam tangan Jenar.

***************

Berita pagi ini tidak terlalu menarik perhatian Oriana. Ekonomi begini, politikus begitu, kriminalitas ini, kebijakan itu, semua berulang hingga rasanya memuakkan. Tapi, dia memiliki sebuah hal yang bisa membuat berita besar jika dia mau. Jenar masih bergelung rapat di bawah selimut, terlelap pulas karena dia baru tidur beberapa jam. Berbeda dengan Oriana, yang walau pun baru tidur lima menit pun, tubuhnya akan memberontak untuk terjaga di tiap pukul enam pagi.

Tampak Jenar tak berkutik dalam tidur nyenyaknya walau pun volume televisi cukup kencang dipasang oleh Oriana. Dia lalu mematikan televisinya dan memeluk tubuh Jenar yang terasa sangat hangat itu. Terasa Jenar bergerak sedikit dan Oriana mengecup dahi Jenar, lalu menatap wanita yang mengisi relung hatinya. Segala kekurangan mau pun kelebihan Jenar membuatnya terus jatuh cinta. Perhatian-perhatian kecil namun penuh dengan isyarat cinta yang selalu menghangatkan jiwanya. Di balik tubuh kuat itu, ada kecanggungan dan kegugupan yang menggemaskan. Betapa Oriana bersyukur dapat bersama dengan Jenar. Jikalau saja waktu itu tak ada insiden penjambretan, mungkin mereka hanya akan berpapasan seperti orang-orang asing lainnya.

Jenar, orang yang begitu mengesankan baginya, ingin direbut begitu saja oleh seorang wanita yang benar-benar membuat Oriana kesal. Beruntung benar Jenar orang yang sangat setia, dia tak ada sedikit pun menunjukkan untuk membelokkan kesetiaannya pada orang lain. Walau pun Oriana tak meragukan kesetiaan Jenar, tetap saja dia tak bisa terima semua hal yang dilakukan oleh Indira. Rupanya teguran saja tak membuat Indira gamang. Sepertinya, harus ada tindakan tegas dan pelajaran untuk Indira. Oriana mendapatkan ide dan dia tersenyum, mengecup dahi Jenar sekali lagi, lalu bangkit dari tempat tidur. Ada sebuah hal yang harus dia lakukan.

Oriana mengambil ponselnya, menekan sebuah kontak, dan menempelkan ponselnya di telinganya. Setelah menunggu beberapa nada dering, telepon di seberang di angkat. "Halo," sapa suara berat di seberang. "Halo, selamat pagi, Mas Mahendra. Saya Oriana, rekan dari Jenderal Umar. Mas Mahendra masih ingat saya, kan?" tanya Oriana dan orang di seberangnya lalu terdengar tertawa. "Hahaha, tentu aja, Mbak Oriana. Ada apa, nih, Mbak? Tumben sekali pagi-pagi telepon saya?" tanya Mahendra ramah dari seberang. Bibir Oriana tersenyum. "Apa kabar, Mas? Hari ini Mas Mahendra sibuk, gak?" tanyanya. Pertanyaan Oriana segera dijawab oleh Mahendra. "Oh, gak terlalu, sih. Mbak Oriana mau ketemu sama saya?" tanya Mahendra. Oriana senang karena Mahendra bisa menebak pikirannya.

"Iya, nih, Mas. Saya mau ngobrol beberapa hal sama Mas Mahendra, kalau Mas Mahendra sempat aja sih. Pasti Mas sibuk banget dengan tugas negara," dengan sangat piawai Oriana membuka jalan. "Hmm, saya ada waktu senggang sih setelah jam satu siang, Mbak. Boleh kalau mau ngobrol. Gimana kalau kita ketemu di lapangan golf angkatan jam satu siang ini, Mbak Oriana?" tanya Mahendra dan Oriana tersenyum lebar. "Boleh banget, Mas. Nanti saya ke sana, ya," kata Oriana. "Oke, Mbak. Sampai ketemu nanti siang, ya," kata Mahendra ramah, lalu menutup teleponnya.

Setelah menutup telepon, senyuman Oriana semakin lebar. Untuk menghadapi ular, kita harus cerdik. Apalagi, ular itu tak tahu diri.

A Soul Called HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang