17. Cuek.

2.4K 230 20
                                    

Hilyah membantu mertuanya memasak. Dia tidak sendirian disini, dibantu dengan Ning Hawa dan kedua santriwati pesantren An nur. Kedua santriwati tersebut menatapnya dengan tatapan penasaran tapi takut sekaligus malu untuk bertanya. Hilyah hanya diam supaya mereka tambah penasaran.

Hilyah hanya ikut membatu memotong motong bahan dan terkadang ia juga ikut membatu menggoreng.

"Mbak Santriwati baru ya?" tanya Santriwati yang memakai kerudung segi empat berwarna hitam. Santriwati tersebut memberanikan diri untuk bertanya lantaran ia sangat penasaran dengan kehadiran Hilyah disini.

"Iya, mbak Santriwati baru ya? Soalnya saya belum pernah liat mbak di area pesantren." Ujar Santriwati lainnya dengan nada halus

"Kepo." jawab Hilyah.

Kedua santriwati tersebut langsung dibuat kicep oleh sebuah kata yang sedikit ketus tersebut.

Karena Ning Hawa dan Ummi Nabila sedang pergi sebentar, berakhirlah dengan sebuah kecanggungan dari ketiga gadis ini.

"Jutek banget mbaknya." Bisik santriwati. "Iya."

"Kedenger." sahut Hilyah.

Mendengar sahutan itu, kedua Santriwati hanya bisa tersenyum tidak enak plus canggung. Mereka langsung mengerjakan tugasnya masing-masing.

Ummi Nabila datang membawa seikat kangkung dan langsung menaruhnya di wastafel untuk dicuci.

"Mau buat tumis kangkung Ummi?" semua santri Pesantren An-Nur memangnggilnya dengan sebutan Ummi, karena ia rasa karena semua santri adalah anaknya, begitupun dengan suaminya yang dipanggil Abi.

Ummi Nabila mengangguk mengiyakan. "Iya, mau buat tumis."

"Saya saja Ummi yang buat."

Hilyah diam dan tetap melakukan tugasnya yaitu menggoreng tempe.

"Ya sudah, ummi minta tolong buatkan ya?"

*****

Selesai menaruh dimeja kedua Santriwati itu langsung pergi.

"Ummi, kalau pasar deket sini jauh nggak ya? Hilyah mau kepasar karena bahan-bahan dirumah nggak ada." ucap Hilyah.

"Deket kok dari sini. Kalau kamu mau kepasar nanti ditemani para santri ya, biar ndak nyasar."

Hilyah mengangguk, bisa gawat kalau ia nyasar ditempat orang.

"Kalau Hilyah sekolahnya mulai kapan, Ummi?"

"Nanti tanya sama suami kamu aja ya, soalnya Ummi juga ndak tau. Kemungkinan besok atau lusa. Katanya tadi pagi Adzam nanti bawa baju sekolah buat kamu. Itu mereka datang."

Datanglah keempat laki-laki yang masing masing membawa sebuah buku. Mungkin mereka selesai mengajar.

Gus Adzam menenteng sebuah plastik berwarna putih.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam."

"Ayo masuk dulu, kita makan sama-sama."

Gus Adzam memberikan kantung plastik tersebut pada Hilyah. "Baju sekolah. Besok berangkat." Ucapnya dingin.

Seperti biasa raut wajahnya datar. Hilyah mengangguk menerimanya tak lupa juga dengan ucapan terima kasih. Masa bodo dengan wajah datar dihadapannya, yang terpenting besok ia bisa sekolah dan mempunyai teman. Bosan juga kalau tiap hati harus melihat wajah datar dan ucapan singkat dari suaminya.

Karena ia memiliki sifat ceria dan hiperaktif, dan harus disatukan dengan laki-laki yang seperti suaminya itu. Rasanya sangat tidak enak untuknya.

"Hilyah nanti belajar masak dengan Ummi atau tante Hawa, ya. Biar nanti bisa masak buat suami kamu." Ucap Ummi Nabila.

Our Story (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang