18. Sekolah.

2.1K 224 13
                                    

"Gus, ayo berangkat." ajak Hilyah.

Gus Adzam yang sedang memainkan ponselpun menoleh ke arahnya. "Hm... astaghfirullah hal adzim."

"Kenapa sih Gus kalo ada gue istighfar mulu perasaan, dikira gue setan apa." ucapnya menatap kesal pada sang suami.

Gus Adzam menghela napasnya pelan. "Bukan seperti itu Ning. Kamu tau ini area pesantren?" sontak Hilyah mengangguk. "He em, tau kok. Terus kenapa?"

"Jangan samakan kehidupan kamu dulu dengan kehidupan kamu yang sekarang, karena itu sangat berbeda jauh. Selain kamu istri saya dan tanggung jawab saya, kamu juga harus tau bagaimana menjadi seorang muslimah."

"Disini area pesantren, terkadang banyak para santriwan, para pengurus ataupun yang bukan mahram kamu yang sering berseliweran di depan. Saya juga tidak melarang kamu tidak memakai hijab dan itu hanya dikamar ataupun di dalam rumah, hanya itu. Selainnya tidak saya izinkan."

"Dan dengan pakaian kamu seperti ini..."

Hilyah melihat pakaian yang ia kenakan. Baju yang Gus Adzam berikan padanya ia masukkan ke dalam rok panjang terus apa yang salah dengannya.

"Tidak memakai hijab."

"Harus pakai hijab emang? Gerah loh, Gus." tanyanya polos.

Gus Adzam harus sabar jika sedang bersama Hilyah. Apalagi terkadang pertanyaan tak bermutu yang istrinya lontarkan, seperti saat ini.

"Disini pesantren dan para perempuan yang merasa dirinya seorang muslimah harus memakai hijab atau penutup kepala. Dan kamu juga harus mengeluarkan baju kamu." ucap Gus Adzam.

Hilya melotot dan menyilangkan tangannya di depan dada sekaligus menatap ganas sang suami. "Ih malu masa bajunya dicopot. Dasar Gus Adzam mesum."

Gus Adzam meraup wajahnya kasar dan menghembuskan napasnya kasar. "Maksud saya bajunya jangan dimasukkan ke dalam rok Ning! Keluarkan! Itu aturan dipesantren ini."

"Oh, dari tadi kek. Makanya kalo ngejelasin mukanya jangan datar terus, bikin salah paham aja." Hilyah mengeluarkan bajunya.

"Selesai. Tapi, gue gak bisa pake hijab selain yang instan." Hilyah masuk ke dalam kamarnya dan mengambil kerudung segi empat berwarna putih.

"Belum dipake karena gak bisa pakenya." adu Hilyah sembari mengerucutkan bibirnya.

Gus Adzam masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sesuatu.

"Pakai ini dulu." Gus Adzam memakaikannya dalaman kerudung dan mulai memasangkan hijab tersebut.

Hilyah diam dan menatap dengan lekat wajah suaminya. "Ganteng banget suami Hilyah." gumamnya.

Gus Adzam mendengar gumaman Hilyah, namun ia hanya diam dan memfokuskan diri memakaikan hijab untuk istrinya.

"Sudah."

Hilyah melihat dirinya dipantulan cermin. "Cakep juga. Gus Adzam pinter banget bisa pakein kerudung. Jangan jangan..."

"Jangan banyak bicara. Sekolah."

*****

Hilyah berjalan dibelakamg suaminya. Dia juga tak perlu ke kantor untuk menemui sang kepala sekolah, karena sang kepala sekolah sedang berjalan mengantarkannya ke kelas.

Hilyah menyisiri lorong kelas, ia juga melihat sebuah lapangan yang lumahan besar, samalah dengan sekolah lamanya.

Masuk kedalam kelas banyak pasang mata yang melihat keduanya, terlebih melihat Gus Adzam, suaminya. Karena dipesantren, kelas dipisah antara santriwan dan santriwati.

Our Story (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang