10. Pemakaman.

2.4K 230 2
                                    

Setelah pulang sekolah, seorang gadis turun dari sebuah mobil berwarna hitam. Ia memasuki area pemakaman untuk berziarah ke makam orang tuanya. Langkah demi langkah, akhirnya ia sampai di depan pusara kedua orang tuanya.

Gadis itu terlebih dahulu mencium batu nisan keduanya, ia sangat rindu sekali dengan keduanya. Kemudian ia berjongkok ditengah-tengah antara makam tersebut.

"Alhamdulillah, Mah, Pah, Hilyah dikasih kesempatan buat dateng lagi, Hilyah seneng banget tau nggak? Rasanya udah lama nggak ketemu kalian. Selain mau mendoakan kalian Hilyah juga mau curhat."

Mungkin dimakam ini juga akan menjadi tempat ternyaman dan juga tempat dimana rasa rindu yang teramat dalam. Dan mungkin juga akan menjadi tempat peristirahatan terakhirnya disuaru hari nanti.

Hilyah menyentuh makam keduanya, "Mah, Pah, kata kakek kalian mau jodohin Hilyah ya? Jujur Hilyah sulit buat nerimanya, Hilyah takut calon suami sama keluarganya nggak suka sama keberadaan Hilyah, kayak ayah Reza."

"Mereka dari kalangan orang penting dan juga seorang yang paham agama. Hilyah insecure deh Mah, Pah.  Hilyah aja baru paham sama agama Hilyah sendiri, baru belajar juga. Susah banget tau. Andai kalian masih hidup, Hilyah pasti diajarin kan sama kalian?"

Hening.

"Andai aja kalian masih hidup, Hiyah pasti bisa sholat, bisa ngaji dan pengennya dibimbing sama kalian. Tapi, itu semua cuma perandai-andaianya Hilyah aja. Mustahil buat kalian hidup. Nanti serem, hehehe."

Hilyah terkekeh sembari menghapus air mata yang mengalir tanpa izin.

"Hilyah cengeng banget ya. Hilyah iri banget sama orang-orang yang bisa dapet kasih sayang dari orang tuanya langsung. Sedangkan Hilyah... enggak. Kalo waktu bisa diputar, Hilyah boleh nggak sebelum kalian kecelakaan dulu ajak Hilyah, supaya kita bisa bareng-bareng. Enggak kayak gini Hilyah sendirian."

"Hilyah butuh bahu buat bersandar dan juga telinga buat sekedar dengerin cerita Hilyah."

"Mamah, Papah, kalau suami Hilyah nanti orangnya kasar gimana? Luka ditubuh Hilyah udah banyak tau, lihat ini," Hllyah memperlihatkan bekas luka yang ada dikeningnya, luka akibat benturan dari Dara beberapa hari lalu.

"Sakit loh, tapi Hilyah kuat. Hilyah cape tau. Hilyah pengen kalo Hilyah lagi sedih ada yang bisa tenangin Hilyah. Nyatanya Hilyah selalu nenangin diri sendiri dan mungkin akan selalu sendiri."

Setelah beberapa waktu untuk curhat tentang dirinya pada pusara kedua orang tuanya, Hilyah melihat jam yang ada dipergelangan tangannya.

"Nggak kerasa ya udah 1 jam Hilyah curhat nggak jelas dan nangis-nangis nggak jelas. Hilyah harap kalian nggak bosen ya liat Hilyah nangis gini. Sekarang kita harus pisah lagi. Hilyah mau kasih doa buat kalian tapi Hilyah nggak tau bacaannya gimana. Hilyah cuma bisa 3 qul aja nggak papa ya, itupun nggak lancar."

Hilyah membacakan surah Al-Ikhlas, Al-Falaq dan yang terakhir surat An-Nas untuk kedua orang tuanya. Walaupun hanya itu yang sekarang bisa ia berikan untuk mereka, ia harap disuatu saat nanti minimal ia tau bacaan untuk berziarah agar bisa mendoakan orang tuanya.

Ia tak mau kedua orang tuanya tak bahagia disana, apalagi saat melihat anak satu-satunya yang jauh dari agama. Anggaplah ini sebuah bakti dari seorang anak untuk kedua orang tuanya yang sudah tiada.

"Hilyah pulang dulu ya, Assalamualaikum," sebelum pulang Hilyah mencium nisan keduanya terlebih dahulu, walaupun diiringi dengan isakan kecil.

"Nanti Hilyah kesini lagi. Dadah," Hilyah melambai-lambaikan tangannya saat langkah beratnya mulai menjauh dari pusara keduanya dan segera keliar dari area pemakaman karena waktu sudah menunjukkan matahari hampir tenggelam.


*****


"Masya Allah, Gus Adzam ganteng banget."

"Iya ganteng banget, bagaimana istrinya nanti ya. Apalagi saat bangun tidur langsung disuguhin sama wajahnya yang tampan rupawan seperti itu. Selagi janur kuning belum melengkung, aku harap 1 tempat jadi istrinya, aamiin ya Allah!!!" Satriwati itu sedikit menaikkan suaranya diakhir kalimat walaupun tertahan. Ia takut yang sedang mereka bicarakan mendengar dan kemudian memarahi mereka.

Seorang santriwati memukul lengan temannya sedikit keras, "kamu ini, kalau Gus Adzam dengar gimana? mau dihukum? Kamu tau kan kalo dihukum langsung sama Gus Adzam hukumannya ndak main-main?"

Mendengar itu, keduanya langsung saja terdiam.

Untungnya orang dituju itu sedikit jauh alhasil tidak terdengar teriakan santriwati tersebut. Namun, saat tertawa bersama, ketiga santriwati tersebut langsung dibuat kaget oleh kedatangan seorang Ustadz, mereka berdua menundukkan pandangannya dan terdiam.

"Kalian ini, ingat ini sudah jam berapa. Sudah mulai petang, seharusnya kalian bersiap untuk menunaikan sholat maghrib, ini malah ketawa-ketawa keras. Kalian ini wanita, suara kalian ini aurat, kalian harus menjaganya," tegur Ustadz yang bernama Hamdan itu.

"Cepat, segera ke masjid untuk sholat berjamaah, jika kalian telat saya hukum kalian buat hafalkan surat Al-Baqarah," ancam Ustadz Hamdan tersebut.

Ketiga santriwati itu terkejut mendengar ancaman dari Ustadznya ini. Surat Al-Baqarah itu sangat banyak sekitar 286 ayat dan itu 2 juz. Mereka yakin hukuman itu harus satu malam selesai jika tidak hukuman berikutnya akan lebih berat.

Dan pengurus disini itu terkenal tegas dan tidak memandang bulu, hukuman akan tetap menjadi hukuman yang harus dijalankan bukan untuk dibantah.

"Maaf, Ustadz."

"Kalian segera pergi ke masjid."

Ketiga santriwati langsung berjalan cepat untuk segera bersiap-siap masuk ke dalam masjid.

"Astaghfirullah. Kehaluan mereka sudah melebihi batas. Mereka tidak memikirkan kah jika Gus Adzam bukan jodohnya. Apalagi seorang Gus itu biasanya akan dijodohkan dengan seorang Ning."

"Dan kenapa tidak ada yang coba menghalui saya atau memuji paras saya ini, saya juga tidak kalah tampannya dari Gus Adzam. Jika kami disamdingkan bersama, saya yakin kita akan mirip," Ustadz Hamdan terkekeh sendiri mendengar gumamannya sendiri.

"Ustadz!" panggil seseorang.

Ustadz Hamdan terjingkat kaget saat bahunya ditepuk oleh seseorang.

"Astaghfirullah, Gus. Salam dulu Gus jangan asal nepuk saja, kaget saya," Ustadz Hamdan mengelus dadanya yang berdegup dua kali lipat akibat kaget, mungkin ini balasan dari Allah karena ia lebih dulu mengagetkan ketiga santriwati tadi.

"Assalamualaikum," Gus Adzam mengucapkan salam dengan wajah yang senantiasa datar.

Ustadz hamdan yang melihat raut wajah Gusnya sedikit ngeri dan juga meneguk ludahnya, serasa berjumpa dengan Malaikat Izrail, seram.

"W-waalaikumsalam."

"Ke masjid. Assalamualaikum," setelah mengucapkan salam, Gus Adzam pamit pergi.

Ustadz Hamdan tercengang melihatnya, walaupun Gus Adzam sudah terbiasa seperti itu, dingin, tegas, serta datar, ia masih berusaha menyesuaikan diri dengan Gusnya itu.

"Waalaikumsalam."

"Serem banget mukanya. Ya Allah semoga nanti istrinya bisa betah lama-lama dengan muka datarnya dan bisa mencairkan hatinya. Saya agak takut ya Allah serem," Ustadz Hamdan bergidik ngeri.

"Semoga istrinya nanti bisa sabar lihat mukanya. Dan semoga nggak ditinggal seperti saya tadi."


*****


23 Januari 2023.

Our Story (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang