~~~ Happy Reading ~~~
"Aku naik kereta bawah tanah...""Oh ya?" kata Tuan Weasley ingin tahu. "Apa ada eskapator? Bagaimana caranya..."
"Tidak sekarang, Arthur," kata Nyonya Weasley. "Bubuk Floo jauh lebih cepat, Nak, tapi entahlah, kalau kau belum pernah..."
"Tidak apa-apa, Mum," kata Fred. "Harry, lihat kami dulu."
Fred mengambil sejumput bubuk berkilau dari vas bunga, melangkah ke perapian dan menaburkan bubuk itu ke nyala api. Dengan deru keras api berubah menjadi hijau zaitun dan menjulang lebih tinggi dari Fred, yang melangkah ke dalamnya sambil berteriak, "Diagon Alley!" dan langsung menghilang.
"Ngomongnya harus jelas, Nak," Nyonya Weasley memberitahu Harry, ketika George memasukkan tangan ke dalam vas. "Dan keluarnya harus di perapian yang benar..."
"Di mana?" tanya Harry gugup, ketika api menderu dan melenyapkan George dari pandangan juga. "Yah, ada banyak perapian penyihir yang bisa dipilih, kan, tapi asal kau
ngomongnya jelas...""Dia akan baik-baik saja Molly, jangan terlalu cemas," kata Tuan Weasley, sambil menjumput bubuk Floo juga.
"Tapi, kalau dia tersesat, bagaimana kita harus menjelaskan kepada bibi dan pamannya?""Mereka tidak akan keberatan," Harry menenangkannya. "Dudley akan
menganggapnya lucu sekali kalau aku tersesat di cerobong asap. Jangan khawatir.""Baiklah... kalau begitu... kau berangkat sesudah Arthur," kata Nyonya Weasley "Setelah masuk perapian, katakan ke mana tujuanmu..."
"Dan rapatkan sikumu," Ron menasihati.
"Dan pejamkan matamu," kata NyonyaWeasley. "Angus-nya..."
"Jangan gelisah dan bergerak-gerak," kata Ron. "Nanti kau bisa jatuh ke perapian yang salah..."
"Tapi jangan panik dan buru-buru keluar juga. Tunggu sampai kau melihat Fred dan George."
Sambil berusaha keras mengingat semua ini, Harry mengambil sejumput bubuk Floo dan berjalan ke perapian. Dia menarik napas dalam-dalam, menaburkan bubuk ke nyala api dan melangkah masuk. Apinya terasa bagai angin hangat. Harry membuka mulut dan langsung tertelan olehnya banyak abu panas.
"D-dia-gon Alley," katanya terbatuk.
Rasanya seakan Harry tersedot lubang yang besar sekali.Dia seperti berpusar sangat cepat, deru keras memekakkan telinganya. Dia berusaha agar matanya tetap terbuka, tetapi pusaran api hijau membuatnya pusing. Sesuatu yang keras menyodok sikunya dan Harry segera merapatkannya ke tubuhnva, masih terus berpusar, terus dan sekarang rasanya ada tangan-tangan dingin menampar mukanya. Mengintip lewat kacamatanya, dilihatnya samar-samar serangkaian perapian dan sekilas-sekilas tampak ruangan di baliknya.
Sandwich daging asapnya bergolak di dalam perutnya. Dia memejamkan lagi matanya, berharap pusaran ini segera berhenti, dan kemudian Harry jatuh terjerembap di lantai batu
yang dingin dan kacamatanya pecah. Pusing dan memar, berlumur angus, Harry dengan amat hati-hati bangun, memegangi kacamata ke depan matanya. Dia sendirian, tetapi di mana dia, dia sama sekali tak tahu. Yang dia tahu hanyalah dia berdiri di perapian baru, di tempat yang kelihatannya toko sihir besar dengan penerangan remang-remang tetapi tak satu pun barang-barang yang dijual di sini akan masuk dalam daftar sekolah Hogwarts.Sebuah kotak kaca di dekat Harry berisi tangan keriput di atas bantal, satu pak kartu bernoda darah, dan sebuah mata kaca mendelik. Topeng-topeng menyeramkan menyeringai dari dinding, tulang-tulang manusia berbagai bentuk dan ukuran bertebaran di meja pajang, dan peralatan berpaku tajam berkarat bergantungan dari langit-langit. Yang lebih parah lagi,
jalan sempit yang bisa dilihat Harry lewat kaca toko yang berdebu jelas bukan Diagon Alley.Lebih cepat dia meninggalkan tempat ini lebih baik. Dengan hidung masih perih gara-gara jatuh meng-hantam lantai perapian tadi, Harry berjalan cepat tanpa suara menuju pintu. Tetapi belum lagi separo jalan, dua orang muncul di balik kaca dan salah satunya orang terakhir yang ingin ditemui Harry saat dia sedang tersesat, berlumur angus, dan kacamatanya pecah: Draco Malfoy.
Harry cepat-cepat memandang berkeliling dan melihat lemari besar hitam di sebelah kirinya.Dia melesat masuk dan menarik pintunya, sampai tinggal celah sedikit untuk mengintip. Beberapa detik kemudian bel berdentang dan Malfoy masuk ke dalam toko. Laki-laki yang masuk di belakangnya pastilah ayahnya. Wajahnya sama, pucat dan
runcing, dan matanya pun sama, abu-abu dingin. Tuan Malfoy menyeberangi ruangan, melihat barang-barang yang dipamerkan, dan membunyikan bel di meja pajangan.Sebelum menoleh kepada anaknya dan berkata, "Jangan sentuh apa-apa, Draco."
Malfoy, yang sudah tiba di mata kaca, berkata, "Katanya aku akan dibelikan hadiah."
"Aku bilang aku akan membelikanmu sapu balap," kata ayahnya, mengetuk-ngetukkan jari di atas meja pajangan.
"Apa gunanya sapu kalau aku tidak masuk tim asrama?" kata Malfoy, tampangnya cemberut dan marah. "Harry Potter dapat Nimbus Dua Ribu tahun lalu. Izin khusus dari Dumbledore supaya dia bisa main untuk Gryffindor. Padahal sih dia tidak hebat-hebat amat, cuma karena dia terkenal saja... terkenal gara-gara punya bekas luka konyol di dahinya..."
Malfoy membungkuk, mengamati rak penuh tengkorak. "Semua menganggapnya pintar, Potter yang hebat, dengan bekas luka dan
sapunya...""Kau sudah menceritakannya padaku paling tidak dua belas kali," kata Tuan Malfoy, dengan pandangan yang menyuruhnya diam. "Dan kuingatkan kau bahwa tidaklah, bijaksana memperlihatkan bahwa kau ku-rang menyukai Harry Potter, mengingat
sebagian besar bangsa kita menganggapnya sebagai pahlawan yang membuat Pangeran Kegelapan menghilang... ah, Tuan Borgin."Seorang laki-laki tua bungkuk muncul di belakang meja, menyeka rambutnya yang berminyak dari wajahnya.
"Tuan Malfoy, senang sekali bertemu Anda lagi," kata Tuan Borgin dengan suara selicin rambutnya. "Gembira dan Tuan Muda Malfoy, juga, sungguh menyenangkan. Apa yang bisa saya bantu? Harus saya tunjukkan kepada Anda, baru datang hari ini, dan harganya pun sangat bersaing..."
"Aku tidak mau beli hari ini, Tuan Borgin, tapi jual," kata Tuan Malfoy.
"Jual?" senyum agak memudar dari wajah Tuan Borgin.
"Kau sudah dengar, tentunya, bahwa Kementerian melakukan razia lagi," kata Tuan Malfoy, mengeluarkan gulungan perkamen dari saku dalamnya dan membukanya untuk
dibaca Tuan Borgin."Aku punya beberapa—ah—barang di rumah yang bisa bikin aku malu,
kalau Kementerian datang..."Tuan Borgin menjepitkan kacamata tanpa gagang ke hidungnya dan membacanya.
"Kementerian tidak akan menyusahkan Anda, Sir, tentunya?"
Tuan Malfoy mencibir.~~~ Bersambung ~~~