🗣️ D u a p u l u h s a t u

16.3K 1.1K 32
                                    


Enggak ada angin, enggak ada hujan, tiba-tiba Ayah mengajakku untuk nonton horror di bioskop. Padahal aku tahu banget kalau dia enggak suka nonton film di luar rumah, apalagi dengan genre horror. Bukan Ayah banget pokoknya deh.

"Kamu sukanya genre apa? Horror kan? Ayo, Ayah temani," ucapnya untuk kesekian kali.

Aku menatapnya dengan datar. Aku lagi galau, malas buat ngapa-ngapain. 

"Enggak, Yah," tolakku kemudian aku mengambil tasku dan bergegas untuk ke atas. Namun, baru aja aku melangkah Ayah menarik lenganku pelan.

"Kamu maunya ke mana, Key? Ke mana aja Ayah mau menemani kamu," ucapnya terdengar memaksa.

Anterin aku ke KUA aja boleh ga sih? Terus nikahin aku sama Pak Prima. Kayanya cuma hal itu yang membuat aku bersemangat untuk pergi keluar.

"Ga mau ke mana-mana. Malas," ucapku kemudian kembali melangkah menuju lantai atas dan masuk ke dalam kamar.

Dua puluh tiga menit kemudian, ada suara ketukan pintu. Awalnya aku cuekin aja karena mager untuk membuka pintu, tetapi ketukan itu tidak kunjung berhenti. Aku semakin merasa terganggu dan akhirnya membukakan pintu itu.

Ayah berdiri di depan pintu dengan senyuman yang merekah. Tangannya memegang sebuah totebag yang berlogo sebuah restoran Thailand yang terkenal.

"Tadi Ayah habis pesan makanan ini di ojek online," sebelah tangannya menyentuh tanganku, "ini makanan kesukaan kamu kan? Ayo kita makan bersama-sama di luar," ajaknya.

Kebaca deh, Ayah pasti lagi baik-baikin aku. Maybe dia tahu kalau sikapnya benar-benar membuat aku sedih. Namun, enggak ada hal yang bisa dia lakukan karena mungkin baginya, kebahagiaan dia lebih penting.

Aku menghentakan tanganku lantas menggeleng keras-keras. "Enggak, Yah. Aku lagi enggak mau makan. Makanannya buat Ayah aja atau kasih satpam depan," ucapku lalu menutup pintu.

Semoga Ayah paham, kalau aku enggak butuh dibaik-baikin kaya gini.

Aku sama sekali enggak butuh.

Keesokan harinya Abang-abangku datang ke rumah. Sebenarnya tidak ada yang istimewa, biasa aja. Dari dulu hubungan kami tidak terlalu erat, ngomong pun hanya sekedarnya. Jadi ada ataupun tidak ada mereka, bukan masalah besar untukku.

Aku baru saja pulang dari kampus, begitu aku ingin masuk ke dalam rumah mataku menatap Ayah dan kedua Abangku yang berada di taman depan. Mereka terlihat sedang berbincang-bincang. Aku sempat menguping, tidak begitu jelas apa yang mereka ucapkan, tapi aku mendengar nama Tante Dilla disebut beberapa kali.

Wajar, Ayah lagi puber ke dua.

Dia pasti menceritakan betapa membahagiakan kisah cintanya dengan Tante Dilla kepada kedua anak-anaknya.

Hmm, aku memilih melanjutkan langkahku menuju kamar. Malaslah aku mendengar cerita kisah cinta Ayah dan Tante Dilla berkali-kali. Sudah hafal.

Sesampainya di kamar, mataku menatap lurus ke arah rumah depan. Jendela rumah itu terbuka, jendelanya berpapasan dengan jendela kamarku sehingga saat ini aku dapat melihat Pak Prima sedang sibuk memainkan laptopnya.

Tiba-tiba bibirku tertarik membentuk senyum. Maybe, jika memang dimasa depan aku dan Pak Prima akan menjadi abang dan adik sepertinya aku enggak begitu keberatan. Setidaknya aku memiliki Abang yang penyayang dan begitu perhatian, walaupun Abang tiri.

Tanganku bergerak membuka jendela kamar kemudian aku berusaha membuat bunyi-bunyian dengan niat agar fokus Pak Prima terpecah lalu dia menoleh ke arahku. Dan benar saja, pria itu menoleh ke arahku lantas tersenyum.

My Lecture, My HousemateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang