10. MULAI SUKA?

53.5K 3.2K 106
                                    

SELAMAT MEMBACA KISAH ANARA DAN DIKA.

***

Hari itu sabtu. Sekolah memang akan libur pada hari itu.  Pagi-pagi sekali Anara sudah menyiapkan sarapan untuk mereka. Kondisi Dika sudah membaik. Hanya saja, masih sedikit lemas. Tadinya, Anara akan menjenguk Ayah-nya, namun Dika meminta besok saja.

Anara menuruti. Gadis itu tersentak, merasakan tangan Dika yang menyentuh pundaknya.

"Aku baru banget mau nyusul kamu ke kamar. Ayo, sarapan," kata Anara.

Meja bundar dengan dua kursi itu hanya menyediakan empat lembar roti dengan selai Nanas merek biasa, tidak seperti yang ada di rumah Dika.

Dika mengedarkan pandangannya, seperti ada yang kurang di pagi ini.

"Lo nggak buatin nasi goreng kayak biasanya," sebut Dika.

Anara bingung harus menjawab apa. Jika ia berbohong, tentu Dika bisa mengetahuinya. Secara, kata Anara, ia lebih suka sarapan dengan nasi goreng atau bubur buatannya sendiri.

"Anara, kenapa?" tanya Dika.

"Beras-nya habis," jawab Anara.

"Dan lo nggak bilang sama gue?"

"Aku malu!" tandas Anara.

Dika menyerngit. Kenapa Anara harus malu padanya.

"Aku malu, kalau harus minta uangnya sama kamu," imbuh gadis itu.

"Yah terus, kalau bukan dari gue, lo mau minta sama siapa?" Nada suara Dika meninggi.

"Tetangga? Atau lo mau ngemis di jalan, hah?" Anara diam saja mendengar omelan Dika.

Dika beranjak dari meja makan, ia memasuki kamar dan kembali lagi dengan dompet hitam di tangannya. Dika mengekuarkan lima lembar uang berwarna biru, dan memberikannya pada Anara.

"Ini uang lembur dua hari lalu. Salah gue juga, lupa ngasih ke elo," ujar Dika.

"Lain kali, kalau ada yang kurang di rumah, bilang sama gue. Nggak ada pakai acara malu dan sebagainya, Nara. Lo dan semua keperluan kita itu tanggungan gue," jelas Dika, berharap Anara bisa memahami posisinya saat ini.

Saat Anara mengatakan stok beras di runah habis, Dika seperti ditusuk oleh pisau di hatinya. Seperti inikah, susahnya menjadi kepala keluarga yang serba kecukupan.

"Maaf, Dika. Aku janji nggak kayak gini lagi," ucap Anara menunduk.

"Ya udah. Sekarang sarapan, terus gue yang ke supermarket buat belanja berasnya," kata Dika lagi.

"Jangan... Kalau belinya disana boros. Kemahalan. Kita ke pasar aja," sela Anara.

***

Dan disini mereka saat ini. Dika mengeluarkan sapu tangan sutra mahal miliknya dari saku. Baru saja berdiri di pintu masuk, cowok itu sudah menatap jijik, nyaris muntah.

Seperti tidak ada tempat lain saja Anara membawanyanya kesini.

"Nara, ke minimarket di seberang aja," pinta Dika.

"Ka, disini lebih murah. Kita harus hemat. Disini sayurnya masih segar-segar," jawab Anara.

Dika berdecak kasar. Gadis itu justru tengah menahan tawa, melihat wajah Dika. Anak sultan masuk pasar, dan itu semua karena istrinya.

"Ayo!" seru Anara, mengajak Dika.

Pagi itu mereka naik angkot ke pasar. Dika sempat protes dan ingin menggunakan motor, namun bagaimana bisa motor sport itu memuat belanjaan mereka nanti.

ANARA UNTUK DIKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang