tiga belas

102 28 1
                                    

memang benar ketika pepatah mengatakan, jika ada pertemuan disitu ada perpisahan. namun bagi jeno, perpisahan nya dengan jaemin begitu cepat meninggalkan kenangan yang begitu dalam. hidup bersama-sama, membuat jeno menganggap jaemin adalah bagian dari keluarganya.

ini bukan mengenai jeno yang mencintai jaemin, atau kisah seorang laki-laki yang mencintai laki-laki. ini perihal tentang kehilangan. jeno sudah menganggap teman-temannya itu bagian dari keluarganya. walaupun mereka seorang laki-laki, tak menampik rasa kekeluargaan yang mereka miliki.

mendapati papa jaemin yang meninggal dunia, membuat jeno tercekat tak percaya. ia bahkan sudah menganggap papa jaemin adalah papanya sendiri. namun saat melihat langsung kepergian jaemin secara tragis, membuat ulu hati jeno terasa sakit. mendapati seseorang mati didepan mata kalian, mana mungkin kalian masih bersikap biasa saja, terlebih seseorang itu sudah kalian anggap keluarga.

jeno dan renjun masih menangis, bahkan jeno sibuk menelepon pihak kepolisian agar menemukan jaemin. tidak apa jika jaemin tidak bisa di selamat kan, setidaknya jasad pemuda narendra itu ditemukan dan ditempatkan pada singgasana yang layak. namun hingga detik ini, jeno tak berhasil dikarenakan koneksi internet yang hilang. sempat beberapa titik, namun berikut nya hilang membuat ia mengerang kesal.

“jen udah lah, disini susah jaringan, lo tau itu.” perkataan haechan membuat keduanya menoleh, menatap haechan yang berdiri tak jauh dari mereka, dengan tangan yang bersidekap dada. membuat jeno mengerutkam keningnya bingung, bagaimana seorang haechan tak merasa kehilangan saat melihat temannya mati didepan matanya sendiri. haechan waras?

“lo nggak sedih sama kepergian jaemin?” lirihnya.

haechan bergeming sebentar, lalu menghela napas dengan tungkai yang berjalan kearah jeno dan renjun.

“gue sedih jen, sedih banget. apalagi jaemin itu adek angkat gue, gimana bisa gue nggak sedih?”

“terus, kenapa muka lo biasa-biasa aja setelah matinya jaemin?”

haechan menunduk, menyunggingkan senyum tipisnya, lalu mendongak dengan mata sayunya. “gue nggak tau, sangking sedihnya gue, sampe nggak tau harus berekspresi kayak gimana. gimana enggak? gue syok denger papa jaehyun meninggal, terus jaemin yang meninggal di depan mata gue sendiri,”

haechan diam, menarik napasnya dengan kasar. sedangkan jeno dan renjun menyimak dalam diam.

“lo ngaggap gue jahat jen? asal lo tau ya, walaupun gue anak angkat, tapi gue sayang sama keluarga narendra. gue sayang papa jaehyun, gue sayang mama witta, gue juga sayang sama jaemin. gue nggak sejahat itu buat nggak sedih sama kepergian jaemin, gue sedih.”

haechan kembali menunduk, bahkan kini telinga mereka mendengar isakan kecil dari pemuda itu. sebenarnya jeno tak beranggapan apa-apa tentang haechan, ia hanya bertanya mengapa temannya itu biasa-biasa saja setelah kepergian jaemin? kendati demikian, jeno merasa bersalah.

“sori chan, gue nggak bermaksud apa-apa. sori kalo perkataan gue buat lo tersinggung.” ucapan jeno diangguki oleh haechan, lalu pemuda itu sibuk menghapus air matanya.

menghela napas sejenak, kepalanya ia angkat menatap satu-persatu temannya. ingin bertindak lebih lanjut, agar jasad jaemin segera di ambil. namun perkataan nya berhenti diujung mulut, saat matanya melihat kearah renjun yang menatapnya dalam diam. matanya tajam, memancarkan ketidaksukaan terhadap nya. pantas saja pemuda zeuska itu diam saja, ternyata ia tengah berspekulasi negatif mengenai haechan.

“kenapa ren? gue ada salah sama lo?” tanya haechan menuntut, namun renjun hanya membalasnya dengan gelengan.

“yaudah, kita nggak punya waktu banyak. kita harus ke desa buat minta bantuan buat nemuin jasad jaemin, setelah ketemu kita bawa jasadnya ke kediaman, biar sekalian sama papa jaehyun.”






RUMAH NENEK✓ (hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang