dua puluh tiga

92 19 1
                                    

“nak, mana yang sakit? sini, kasih tau bunda, mau bunda marahin biar dia nggak buat kamu sakit lagi,” wajah yang tampak pucat kelelahan itu, membuat haechan merasa tak enak hati. kerutan diwajahnya, wajah pucatnya, membuat haechan merenung diri. selama bertahun-tahun, haechan baru menyadari, ternyata bundanya kian bertambah usia.

haechan seharusnya membahagiakan orang tua angkatnya, yang ia anggap sebagai orang tua kandungnya.

tangannya terulur, mengelus pipi yang samar-samar terlihat kerutan, senyumnya meyakinkan. “nggak ada sakit kok bun, haechan baik-baik aja, bunda nggak usah khawatir.”

mata bunda tampak berkaca-kaca, tangannya menyentuh jari-jemari haechan yang masih setia mengelus pipi tirusnya.

“kalau ada yang sakit ngomong ya, bunda nggak mau kehilangan anak bunda untuk kedua kalinya.” lirihnya pelan, sembari mengingat memori indahnya tentang jaemin narendra, anak semata wayangnya.

“bunda..”

“haechan bakal baik-baik aja bun, haechan nggak akan ninggalin bunda sendirian disini, haechan sayang sama bunda.” katanya, dengan senang hati bunda mengulurkan tangannya untuk memeluk haechan, dengan penuh kasih sayang.

haechan tampak terkejut, dipeluk oleh sang bunda membuat nya membeku. perasaan nya kian merasa bersalah, haechan akui ia pecundang. rela digunakan hanya untuk kepuasan semata.

“bunda sayang haechan,” lirih bunda sembari mengeratkan pelukannya. “haechan juga sayang bunda.”

keduanya larut dalam kerinduan, bagai tahun lamanya tak pernah bersua. saling mengucap sayang, haechan senang tiada ujungnya. mengelus rambut sang anak, bunda sangat menyayangi anak angkatnya, berharap kelak haechan akan menjadi orang yang sukses dan membantu orang yang butuh.

bunda jadi teringat anaknya, jaemin. senyuman manisnya, sikap manjanya, cita-cita besarnya, benar-benar membuat bunda tak tahan untuk lebih dalam lagi menitikkan air mata. kehilangan dua orang tersayang sekaligus, membuat bunda hidup segan mati tak mau. hanya saja, ia masih mengingat ada anak yang masih butuh kasih sayang nya, yang masih butuh motivasi nya, haechan.

“bun, udah dong jangan nangis, haechan jadi ikutan nangis nanti.” ujarnya manja, benar-benar terasa nyaman bila dipelukan sang bunda. tangannya mengusap lembut punggung sang ibunda, berharap usapan tersebut akan memberikan ketenangan mendalam.

bunda terkekeh kecil, ternyata haechan sudah tumbuh dewasa, tak terasa waktu cepat berlalu.

“bun—”

“—haechan iblis lah, dia kan sungguh durjana, orang kayak dia mah, sandingannya malaikat pencabut nyawa—oh! halo tante witta, udah dari tadi ya tan? hehehe,” tampangnya biasa saja, merasa tak berdosa lebih tepatnya. namun haechan setia menatap nya tajam, sungguh mulut renjun ingin ia sumpal menggunakan pel-pel-an.

bunda terkekeh geli, renjun tak pernah berubah, pikirnya. “iya udah dari tadi, bunda juga mau pulang, tapi sekalian nunggu kalian berdua balik aja.”

“gimana, kalian udah dapet kerjaan?” bunda bertanya.

jeno menggaruk tengkuknya yang terasa gatal, sembari tersenyum gugup, seperti menghadapi ujian hidup.

“udah tan, jeno dapet kerjaan di cafe, bagian barista.”

bunda tampak terkejut, “loh? emang jeno ada pengalaman jadi barista?”

“ya elah bun, jeno dua tahun kerja jadi barista kali, di cafe bokap nya lagi.” sahut haechan santai, memang begitu faktanya. sebenarnya ia tak begitu mengerti jalan pikiran temannya itu, memilih mencari pekerjaan daripada bekerja di usaha keluarga nya sendiri.

RUMAH NENEK✓ (hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang