#3

583 68 6
                                    

Semburat cahaya keemasan membias pada helai-helai daun bambu sepanjang tepian sungai yang membelah desa Tambak Kurihing. Arusnya terlihat tenang pada musim kemarau. Anak-anak leluasa mandi berenang sembari bercanda di air surut yang hanya setinggi pinggang mereka.

Beberapa perempuan beranjak menaiki tebing, hanya dengan sarung kurung yang diikat pada bahu. Masing-masing terlihat menenteng wadah penuh cucian.  Tinggal sungai  itu sumber air bersih satu-satunya bagi warga desa karena sumur-sumur telah mengering menyisakan bau tak sedap.

Ali yang sedang menuruni tebing lekas berdiri menyisi, memberikan jalan pada para mamak yang mau lewat. Pemuda itu berniat membersihkan diri, tetapi menunggu suasana benar-benar sepi sebab dia tidak punya baju ganti. Sekarang tinggal Ali sendiri di situ. Setelah yakin tidak ada orang, tubuhnya segera melompat ke dalam air  yang dingin.

Byuurr!

Bunyi gebyar air yang bercipratan.

Sambil menoleh ke sekitar, dilepaskan kaus lengan buntung berlogo sabun cuci serta celana jeans yang tinggal selutut. Tersenyum senang Ali menemukan sabun colek kemasan ekonomis tergeletak di sudut lanting jamban. Isinya masih separuh. Sepertinya milik orang yang tertinggal.

"Cil, Minta sabunnya, Cil!" ujar Ali.

"Ambil, ambil saja sesukamu, Nang!" ucapnya lagi bermonolog dengan suara halus dibuat-buat. Seolah yang menyahut si mamak pemilik sabun, padahal dia sendiri.

"Makasih, semoga rejeki Acil berlimpah."

"Sama-sama, aamiin...."

Gerak cepat dia mencuci semua baju termasuk sempak yang masih melekat dengan sebagian tubuh berendam dalam air. Matanya selalu waspada pada sekeliling.

"Baru mandi kau?!" Ipan menjulurkan lehernya dari atas tebing sungai, lalu menuruni undakan.

"Wey, pagi betul kau datang. Sudah rapi pula. Mau melamar Asmah kah kita hari ni, Pan?" ledek Ali. Sejenak dia mengamati penampilan Ipan yang lebih rapi dari biasa.

Pemuda bertubuh tipis itu mengenakan kemeja lengan panjang sasirangan warna hijau motif Mega Mendung, dipadu celana bahan hitam, lengkap dengan ikat pinggang sintetis dan sepatu pantofel hitam yang tampak kebesaran. Bagian depan sepatu diganjal kain perca biar muat. Rambut ikal sebahu yang masih basah disisir rapi ke belakang.

Cengengesan muka si Ipan mendapat pujian, sembari kedua tangan berlagak merapikan kerah kemeja. Yakin sekali dia terlihat keren hari ini.

"Kau jadi mirip Sapri kalau begitu," tambah Ali, menahan tertawa agar tidak menyembur.

Kontan mata Ipan mendelik tajam. Keterlaluan Ali menyamakan dia dengan si Sapri. Lelaki gila yang sering wara-wiri di jalanan desa. Hilang akalnya akibat cita-cita jadi guru tidak tercapai. Sampai sekarang kemana-mana Sapri memakai kemeja sasirangan serta sepatu pantofel yang sudah menganga.

Tak terima ledekan Ali, Ipan diam-diam memikirkan cara membalas temannya itu. Enak saja! Sejak tadi malam dia sudah habis-habisan mempersiapkan penampilan khusus untuk hari ini. Baju dan celana boleh pinjam dari kakak ipar yang guru ngaji. Sepatu punya Supir truk yang ketiduran di warung es Mamaknya.

Dipatahkan Ipan ujung ranting bambu yang menjorok ke sungai. Dengan benda itu beberapa benda kuning yang tersesat di ujung jamban dilarutkan menuju Ali yang masih sibuk membusai badannya dengan sabun colek. Heran dia melihat Ipan yang mendadak terpingkal-pingkal tanpa sebab.

"Senang betul kau hari ini."

"Iyalah senang, melihat kawanku dapat rejeki mendadak." Ipan menunjuk ke punggung Ali.

"Huaaahh!" Ali seketika gelabakan, berenang menjauhi pasukan tinja yang menyerang punggungnya.

Tergelak puas Ipan berhasil membalaskan dendam, lalu naik lebih dahulu ke tebing. Rasanya sudah tidak sabar ingin tahu imbalan yang akan diterima hari ini. Suami isteri pemilik mobil yang kecelakaan kemaren, sangat berterima kasih pada dia dan Ali karena telah menolong serta membawa mereka ke fasilitas kesehatan terdekat.

SILUMAN PENGGODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang