#16

327 55 7
                                    

Tanpa suara Ali merebahkan punggung di samping kelambu. Menggulung tubuh jangkungnya ke dalam sarung dengan posisi meringkuk. Cuaca terasa dingin menggigit. Deru angin di luar terdengar sampai ke dalam ruang. Sesekali  guntur menggelar nyaring.

"Tolooong....!" Sebuah teriakan sangat mengejutkan.

****

Sani -- lelaki kurus itu terbaring gelisah. Menggigil tubuhnya merasakan dingin yang merajam kulit hingga ke sum-sum tulang. Kedua tangan Sani mendekap kuat tubuh sendiri. Kian ke sini dingin semakin menusuk. Paru-parunya bahkan terasa sesak menghirup udara yang dingin dan basah.

"Uhuk! Uhuk!" Sani tiba-tiba terbatuk-batuk keras.

Dengan mata masih terpejam tangan Sani lalu meraba-raba sekitar tubuhnya mencari kain selimut yang sepertinya jatuh entah kemana. Gerakan tangan Sani terhenti kala ujung jarinya mendapati tekstur yang tak biasa. Dia tidak lagi tidur di atas kasur kapuk. Tapi, permukaan bertekstur kasar dan lembab.

Wuuusshh....

Kesiur angin dingin yang menerpa kali ini membuat lelaki itu gemetar, memaksanya membuka mata lebar-lebar.

Sani terkesiap bangun. Gelap.  Di atas kepalanya tampak langit malam lepas yang berbalut kabut.

"Astaga, di mana aku?!" Dia terpekik tak percaya, melihat sekeliling. Kebingungan mendapati dirinya tidak lagi berada di dalam kamar.

Kedua tangan Sani gegas menyapu mata yang buram akibat belekan, lalu mengusap iler yang tersisa di pipi.

Sruuut....

Gara-gara mengurusi belek dan iler, tubuh Sani hilang keseimbangan merosot turun ke bawah. Rupanya dia ada di permukaan tempat yang miring.

"Aaargh....!" jerit panjang Sani, kedua tangannya berpegangan pada sesuatu entah apa.

"Bungul, kenapa aku sampai ada di sini?!" desisnya lagi, setelah mengenali atap sirap dingin tempatnya sedang tiarap sekarang.

Sani baru tersadar jika dirinya telah berpindah ke atas atap rumah panggung. Di ketinggian  yang setara dengan puncak rumah berlantai dua. Dari situ dia bisa melihat bayangan hitam pohon-pohon tinggi kelapa dari kejauhan, juga puncak dari pohon nangka dan belimbing wuluh di samping rumah. Terhidu aroma malam yang pekat.

"Mimpi kah aku?" gumamnya lagi dengan napas tersengal.

"Kau tidak sedang bermimpi, Sani. Aku yang membawamu ke mari," sahut perempuan yang duduk mencangklong di sudut atap.

Bau harum bunga kantil yang sangat khas seketika menyebar. Bau yang selalu menyertai kedatangannya.

"Hali?! Kau kah itu sayang?" Sani memutar kepala, menemukan seorang perempuan berkebaya kuning kunyit yang duduk membelakanginya.

"Kemana saja kau, Sayang? Aku sangat merindukanmu." Susah payah tubuh ringkih Sani berusaha merayapi atap sirap mendekati jin perempuan yang hingga saat ini masih sangat dia cintai. Peduli setan dia bukan manusia.

"Hali... kenapa kau tidak pernah menemuiku lagi? Apa karena Ali? Kau menyukainya, iya kah?" cecar Sani dengan nada kecewa, mendekap punggung Hali Manyar yang asyik sendiri menatap langit, sembari membelai kepangan rambutnya.

"Menurutmu?" Perempuan bertampang imut mirip Cinta Laura itu kini tersenyum pada Sani tanpa rasa bersalah.

"Kuharap itu tidak benar, Hali. Jangan campakkan aku begini, Hali. Bukankah kau dan aku sudah menikah? Kau itu isteriku. Kau tak bisa meninggalkan aku begitu saja. Aku bahkan sudah melupakan isteriku sendiri demi kau. Aku tak peduli kita beda dunia sekalipun...." Sani memelas, dengan tatapan sendu.

SILUMAN PENGGODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang