"Ini semua gara-gara kaaau!" Tangan Aminah menjambak rambut Sani.
"Astaga, Aminah! Kasihan dia, Min!" Ali menghambur, berusaha melepaskan cengkraman Aminah dari kepala suaminya.
"Hihihi...." Sani malah terkikik.
"Setres si Sani diomeli terus!" celetuk Ipan, kakinya perlahan mundur menjauh beberapa langkah.
Ekspresi Sani terlihat kian menakutkan bagi Ipan. Air muka yang sulit dibaca. Ipan jadi teringat mimik Sapri -- orang gila di kampung mereka yang cengengesan saat dipukuli warga gara-gara membakar rumah tetangganya sendiri.
Merasakan dinding perut kian mengeras, semakin kuat jari-jari Aminah menggenggam. "Masih bisa tertawa kauuuh! Yeaaahh!" jeritnya panjang.
"Kendalikan dirimu, Aminah! Lepaskan tanganmu!" seru Ali, gelabakan.
Kedua tangan Aminah akhirnya bisa dilepaskan bersama helai-helai rambut Sani yang ikut terlepas meliliti jarinya. Rambut yang pada dasarnya sudah rapuh.
"Mining'am kepala Sani!" Mulut Ipan membulat, melihat rambut tipis itu kian habis, kulit kepala Sani bagian ubun-ubun tampak lebih jelas.
( mining : botak )
"Jangan melongok saja kau, Pan! Bantu apa kek! Geser tilam Sani ke sudut dinding sana! Biar tak jadi sasaran empuk lagi." Kening Ali bertarung.
Ipan berdecak malas. Sambil duduk ngesot ditarik asal-asalan kasur kapuk berisi Sani. Ternyata ringan sekali.
"Orang apa kerupuk kau ini, Sani?" Ipan geleng-geleng kepala. "Wajar saja binimu tu marah. Kau sudah selingkuh darinya. Bini hamil kau malah pacaran di sini. Sekarang mana pacarmu yang penyanyi dangdut itu? Kau sakit begini, dia tak peduli," lanjutnya lagi.
"Bisakah kau diam, Pan?!" bentak Ali, menatap tajam.
"A-apa di-dia pacaran?! Uuuhh..." Aminah terperangah.
"Uh, eh... uuuh! Jangan berhenti! Teruskan, Manis! Uuuh...." Bagai membuka rekaman berisi suara mesum Sani lengkap dengan napas yang mendesah, Si Unyil ikut memanaskan suasana dari dalam sangkarnya.
Meraung Aminah meraup wajah yang seketika banjir air mata. Dia tahu Unyil peliharaan Dulah tidak mungkin mengarang. Burung itu peniru suara orang di sekitarnya. Rupanya ini adalah jawaban tentang mimpi buruk yang sering datang. Sani telah berkhianat.
Seekor kaki seribu sebesar kelingking tiba-tiba keluar dari sela jahitan kasur di bawah tubuh Sani, merayapi dengan cepat punggung tangan Ipan.
Gesit Ipan menepis hewan itu, hingga terlempar ke dinding. "Warik! Hampir digigitnya aku."
"Kita butuh tandu darurat buat memindahkan mereka. Kau tunggu di sini!" pinta Ali.
"Tandu pula? Keburu Isabela beranak."
"Mau bagaimana lagi? Susah membawa mereka tak pakai tandu." Ali menggaruk kepala, merasa serba salah. Harusnya mereka semua sudah siap berangkat sekarang. Tapi, ada-ada saja insiden di luar dugaan.
"Kenapa kerjaan kita jadi meurusi orang ajaib kayak mereka? Kita musti protes sama Pak Burhan, Li."
"Proteslah kau sana! Aku mau ke gudang sebentar, mencari alat. Jangan ke mana-mana kau!" pesan Ali, menunjuk kawannya, sebelum berjalan tergesa keluar dari rumah.
"Jangan lama-lama kau, Li!"
Belum satu menit pemuda gondrong itu sudah gelisah. "Hhh... perutku lapar. Mana si Dulah? Tak balik-balik juga dia dari dapur."
Tidak peduli pada pesan Ali agar dia menunggu. Ditinggalkannya Sani dan Aminah. Terpincang-pincang kaki Ipan melewati pintu belakang.
Langit pagi bertaburan kabut tipis. Dingin mendekap perbukitan Tebing Siring. Seekor tupai memanjat cepat ke puncak pohon kelapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SILUMAN PENGGODA
HorrorSiluman betina itu siap meruntuhkan iman lelaki yang datang ke sana. Sekuel SUSUR Baca SUSUR dulu sebelum ini Sudah tamat di aplikasi Joylada