#17

335 48 1
                                    

"Apiiiii... apiiiii...!" Ipan menirukan teriakan heboh Ali.

Byuuurr!!!

Air tiba-tiba menyembur membasahi mereka bertiga sekaligus.

"Masih kah apinya?! Masih kah buhannya apinya?!" teriak Dulah melotot-lotot, berdiri memegangi sebuah ember besar yang telah kosong.

( buhannya : gaes )

"Tarung babanam...."

"Waluh bajarang...."

"Tolong...."

.
.

Hujan yang turun deras tadi subuh, lalu mereda menjelang pukul tujuh pagi menyisakan hawa dingin. Awan-awan kelabu di atas sana bergerak perlahan oleh embusan angin. Aroma petrikor yang menyegarkan menguar di udara.

Ipan duduk menyandarkan punggung pada dinding luar dapur, menikmati sebatang rokoknya yang  terakhir, penuh penghayatan dengan mata setengah terpejam. Terdengar bunyi gebyar air dari dalam kamar mandi yang hanya berjarak beberapa langkah dari situ. Ali yang sedang mandi.

Dari tempatnya, Ipan bisa melihat Dulah sedang dikeroyoki ayam-ayam lapar yang meminta jatah sarapan. Terkikik geli Ipan melihat gaya gahar Dulah yang merabai kepala-kepala ayam lalu seenaknya main cekik leher unggas-unggas nakal itu sebelum melemparkannya.

"Pok! Pok! Pok!" Menjerit-jerit ketakutan mereka, lari terbirit menjauhi sang majikan.

"Ini batis bungul, ay, bukan umpan! Sana kau semua! Cari sendiri cacing di bawah pohon pisang! Nasi dingin habis," omel Dulah kesal. Diusap-usap punggung kakinya yang kesakitan.

Gara-gara hujan dia sedikit kesiangan membukakan kandang ayam. Akibatnya beberapa ayam yang aresif mematuki kaki Dulah.

"Kita bakar saja mereka semua, Dul! Siram kecap tambah sambal Acan belimbing tunjuk!" teriak Ipan nyaring, memprovokasi. Asap pekat rokok mengepul dari sela bibir tebalnya yang kehitaman.

( sambal acan : sambal terasi, belimbing tunjuk : belimbing wuluh )

"Kalau dibakar semua, tak ada lagi yang bakal bertelur," imbuh Dulah tak kalah nyaring, sembari menaiki undakan pelataran belakang rumah.

"Siapa bilang tak ada lagi yang bertelur? Cicak sama lipas lagi bertelur di dinding kamarku, banyak bangat. Mau kah kau?" sahut Ipan.

"Mau. Nanti kurebuskan buat kau makan mie," balas Dulah mendelik, sebelum menghilang ke balik pintu.

Bertelur?

Sani yang duduk di depan jendela kamarnya sontak menelan ludah mendengar kata telur. Hali Manyar telah bertelur anak-anak setan dari hasil hubungan cinta mereka. Anak-anak itu kini mulai menuntut makan darinya.

Mata Sani beralih pada jempol kakinya yang terbalut kain kasa. Cairan antiseptik berwarna kecoklatan menyamarkan warna darah yang merembes akibat luka gigitan. Anak-anak itu seakan ingin membunuhnya pelan-pelan dengan rasa sakit dan ketakutan.

Astaga! Apa yang bisa membuat anak-anak itu berhenti meneror dirinya? Sani membatin, dengan tatapan menerawang ke luar jendela.

Ternyata ada resiko besar yang harus ditelan Sani akibat ulah nakalnya berhubungan cinta dengan makhluk jin seperti Hali Manyar. Nikmat yang berakhir sengsara. Sesungguhnya dia melakukan semua itu bukan karena cinta, tetapi semata karena hawa napsu.

Sekarang Sani mulai takut dengan situasi ini. Hati lelaki itu menimbang-nimbang berbagai kemungkinan untuk dirinya. Pasrah dengan keadaan ataukah mencari cara untuk melawan. Minta bantuan dukun misalnya.

Atau... sebaiknya dia pulang saja ke kampung? Ke rumah gubuk milik sang mertua, tempat isterinya dia tinggalkan.

Tapi, apa kata Aminah nanti?Bagaimana cara menjelaskan pada isterinya itu tentang ke mana saja dia selama ini sampai tak pernah pulang. Dihitung sejak Sani pergi, saat ini kandungan Aminah sudah hampir genap sembilan bulan. Malah mungkin dia sudah melahirkan tanpa didampingi Sani. Pasti Aminah akan sangat marah padanya, merasa sudah ditelantarkan.

SILUMAN PENGGODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang