#4

488 62 6
                                    


Dua tubuh jangkung itu terlihat berkejaran pada jalan kecil menanjak di antara rumpun bambu yang tumbuh subur sepanjang sisi jalan. Saking dibakar emosi, kaki Ali yang masih basah beberapa kali tergelincir saat menginjak tanah licin berlumut. Tubuhnya sampai menggelosor lagi ke bawah. Menjerit-jerit kesal dia menyaksikan Ipan telah melaju jauh.

Mendekati Pustu, Ipan semakin menjadi-jadi. Suara cemprengnya melengking nyaring menyaingi toa masjid. Diulang-ulang kalimat yang sama kalau Ali- lah pelaku ranjau paku. Di depan salah satu jendela pustu yang terbuka lebar, dia sengaja berhenti lari, melebarkan kedua telapak tangan di samping mulut, layaknya sebuah pengeras suara. Puas berteriak depan jendela, berpindah lagi Ipan ke pintu utama.

"Namanya Aliii...! Bukan Aliandooo! Tapi Alimukdin Falah bin Halidi Imron bin Jakpar Sidik." Sampai nama lengkap bapak dan kakek Ali pun Ipan hapal di luar kepala.

"Ali yang bikin ranjau paku di jalan baruh sampai mobil tu cilaka. Si Ipan tak tahu apa-apa!" teriaknya lagi, lalu memutar leher ke belakang. Memantau jarak Ali yang sudah mendekat, tinggal beberapa meter darinya.

Bergidik ngeri Ipan menyaksikan muka yang merah padam oleh letupan emosi. Seakan ada asap hitam yang mengepul dari lubang telinga juga hidung Ali, disertai dua buah tanduk runcing mencuat dari kepalanya.

"Tarung babanam! Ali lebih menakutkan dari tukang pukul Mang Jali," pekiknya tertahan.

"Hiiiyaaahh!" Ipan berlari pontang-panting. Dia harus menyelamatkan diri dari amukan lelaki muda itu.

Mereka terlihat berlarian lagi di pematang sawah, di bawah limpahan cahaya matahari yang telah panas merekah. Keduanya menjadi pusat perhatian warga yang sedang berladang. Lahan gambut yang biasanya digenangi air setinggi mata kaki itu kini tampak mengering akibat kemarau panjang. Agar tetap menghasilkan, sebagian pemilik mengganti padi dengan tanaman palawija seperti sayuran-sayuran, jagung, semangka dan lainnya.

Ada apa dengan dua remaja putus sekolah itu? Macam sedang adu lari saja, pikir orang-orang heran. Kehadiran Ipan dan Ali membuat mereka sejenak menghentikan kegiatan, memperhatikan mereka.

Napas Ipan tersengal. Sesekali dia menoleh. Wajah berapi Ali masih membayangi.

"Kucincang kau, Pan! Kugundul kau! Berhenti! Jangan lari kau!" Ali mengacungkan kedua tangan yang memegangi cucian.

"Huaaaahh...! Tolooong...!" Ipan mengayuh kaki secepat putaran gasing. Penampilannya yang rapi telah acak-acakan. Kemeja sasirangan terlihat sudah kusut basah oleh keringat.

Mencoba menghilang dari penglihatan Ali, Ipan menerobos masuk ke dalam kebun jagung.  Jongkok sambil mengendap berusaha kabur. Tapi, Ali sudah terlanjur melihatnya. Dalam sekejap kebun jagung yang mulai berbunga porak-poranda oleh ulah keduanya yang gelut adu kekuatan. Pak Mantri, beserta Pak Polisi dan Babinsa sudah berdatangan. Tak makan waktu lama, mereka digelandang ke kantor polisi berkat nyanyian Ipan.

****

Malam.

Bau Pesing menyeruak tajam, ketika pintu kamar kecil dengan penerangan seadanya itu dibuka. Seorang lelaki masuk ke dalam, tanpa sungkan dia lalu buang air kecil tanpa menutup pintu. Terdengar jelas bunyi air yang mengucur disusul hela napas lega.

Ruang tahanan sementara, berukuran 3x4, tanpa sekat dengan jeruji-jeruji besi yang kini total dihuni tiga orang itu terasa singup. Tidak satu pun perabot selain dua lembar tikar di atas lantai aci yang dingin, tempat untuk membaringkan tubuh.  Bau jamur, pait pesing serta bau-bau lainnya berkelindan.

Ipan duduk meringkuk di sudut jeruji, dengan tatapan hampa pada tembok putih kusam yang penuh bercak kehitaman. Teringat betapa murka Mamaknya tadi siang sewaktu datang menjenguk. Mamak terpaksa harus menjual sisa perhiasan yang dia miliki demi melunasi hutang judi Ipan pada Mang Jali.

SILUMAN PENGGODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang