Sebuah benda bulat menggelinding di atas rerumputan basah, berhenti di depan kakinya. Bola sepak dari plastik berwarna putih kehitaman oleh tanah dan lumpur. Beberapa anak lelaki yang entah datang dari arah mana, tiba-tiba saja sudah berada di sekitarnya.
"Tendang bolanya, Kak!" ucap satu anak dengan lantang.
Sejenak Ali memindai anak kecil yang bicara barusan. Sedikit heran melihat kepalanya yang terus menuduk seraya satu tangan menunjuk lurus ke arah bola di ujung kaki Ali. Tubuhnya mungil setinggi pinggang, terbungkus kaos oblong basah kuyup, yang tampak kebesaran menutupi lutut. Bibir kebiruan itu gemetar kedinginan.
Mata Ali menyipit menahan gempuran angin dan gerimis. Pandangannya mengedar pada anak-anak yang lain, sembari menghitung jumlah mereka dalam hati. Total sepuluh orang anak berada di tanah pekarangan luas itu. Tidak satupun dari mereka yang balas menatap Ali. Semua berdiri kaku, dengan wajah menunduk dalam. Siapa mereka?
"Tendang bolanya, Kak!" ulang anak yang tadi, tanpa mengangkat wajahnya.
"Kau sama teman-temanmu ini anak siapa? Kenapa pada main hujan-hujanan di sini?" tanya Ali kemudian.
"Anak Sani. Lagi main bola," sahutnya.
"Kau semua ini anak Sani? Banyak bangat, macam anakan iwak-- anak ikan yang baru menetas! Ada-ada saja, hehehe," ledek Ali terkekeh.
Anak kecil kadang asal bunyi menjawab pertanyaan. Ali maklum. Tentu saja mustahil Sani punya anak sebanyak itu. Yang lain pasti teman mainnya. Sani sedang kedatangan tamu rupanya. Baguslah kalau keluarga Sani tahu dia sedang sakit, pikir Ali.
"Hum." Anak itu mengangguk pelan.
"Baiklah pemirsa, Ronaldo pirsi anak rimba akan beraksi." Ali mengibas poni rambut yang basah, lalu mundur beberapa langkah sebelum menendang dengan keras.
Buuugk....!
Bola melambung tinggi.
Salah satu anak gesit melompat, menyundul bola dengan kepalanya. Benda bulat kembali meluncur cepat menuju Ali. Tak mau kalah gesit dari si anak kecil, Ali pun melompat sembari mengangkat tinggi kaki menyambut kedatangan bola.
Ali mulai merasakan keseruan bersama anak-anak kecil itu. Satu sensasi tersendiri berlarian mengejar bola di bawah gerimis yang masih setia membasahi. Sudah lupa pada rasa lelah juga perutnya yang lapar. Sudah lupa dengan penampakan perempuan misterius berkebaya kuning kunyit di pelataran.
Kian kemari Ali menggiring bola dengan kakinya sembari dikerubuti mereka. Tertawa lepas tak peduli pada air langit yang terus mengguyur. Tak khawatir pada petir yang sewaktu-waktu bisa saja menyambar.
"Woy, Alimukdiiin! Apa yang sedang kau buat?!" teriakan Ipan dari atas pelataran rumah, cukup mengejutkan Ali.
"Lekas ikut main, Pan!" seru Ali, melambaikan tangan, napasnya tersengal.
"Main apa?" Mulut Ipan mencucu, terheran-heran. Matanya masih belekan, baru bangun dari tidur siang. Sarung kurung hijau motif kotak membungkus tubuhnya yang kedinginan.
"Main bola. Hayuk turun!"
"Tarung babanam... main bola sudah dekat Maghrib, dingin pula? Masih waras kau Alimukdin?" Sepasang kening Ipan semakin naik.
"Dekat Maghrib?" gumam Ali, lalu memutar lehernya.
Kriiik... kriiik....
Sekeliling mendadak sepi. Hanya tiupan angin serta gelegar petir di kejauhan.
Anak-anak kecil yang tadi ramai berteriak seru, satu pun tidak lagi terlihat. Hanya hamparan rumput basah pekarangan yang roboh bekas terinjak-injak. Hujan telah berhenti, langit hampir gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
SILUMAN PENGGODA
HorrorSiluman betina itu siap meruntuhkan iman lelaki yang datang ke sana. Sekuel SUSUR Baca SUSUR dulu sebelum ini Sudah tamat di aplikasi Joylada