#6

440 60 9
                                    


Mereka berdiri tergemap memandangi sebuah bangunan besar yang berdiri kokoh di tengah kebun kelapa nan lengang, berlatar warna lembut jingga yang hampir tenggelam. Terlihat angker dengan semak belukar menutupi halamannya. Bilaran tumbuh merajalela, menjalar melilit-lilit hingga ke atas atap sirap.

"Tarung babanam...."

"Waluh bajarang...."

"Tak salah alamat kah kita ni?" desis Ipan, melirik temannya.

Kalau saja dirawat dengan baik, rumah panggung Ulin dengan tiang-tiang serta bubungan tinggi itu akan terlihat megah dan indah. Pada daun pintu serta jendela-jendelanya yang lebar terdapat ukiran berbentuk naga. Bagian depan tersedia sebuah tangga dengan undakan lebar untuk naik ke atas pelataran. Namun, dengan sebagian dinding menghijau ditempeli lumut dan jamur membuatnya terlihat sebagai bangunan tua yang terbengkalai. Ditambah lagi semak belukar tumbuh bebas di halamannya yang luas. Daun-daun kering dibiarkan berserakan.

"Tak salah alamat kita, pasti ini rumah Pak Burhan. Sesuai yang dikatakan paman kelotok tadi, rumahnya dikelilingi kebun kelapa," sahut Ali, mengedarkan pandangan. "Lihat! Ada ayam di sana, kayaknya ayam peliharaan orang rumah ni," tambahnya menunjuk beberapa ayam yang sedang mengais-ngais tanah di balik pohon pisang.

"Coba kau ketuk pintunya, Li!" pinta Ipan dengan lesu, mengeluarkan sebotol air mineral dari saku samping tas punggungnya. Dengan rakus ditenggak habis semua air yang tersisa.

"Hum." Ali mengangguk.

Sementara Ali menaiki anak tangga, Ipan melihat-lihat ke sekitar. Mengernyit matanya menemukan satu boneka penghalau burung ( semacam orang-orangan sawah ) diikat pada dahan pohon belimbing wuluh di samping rumah. 

Kepala boneka terbuat dari batok kelapa. Tubuhnya dari gagang bekas sapu yang dibalut baju yang telah rombeng. Mirip boneka jelangkung. Terlihat seram dengan coretan arang yang membentuk alis serta bulu mata tebal. Setiap angin bertiup, tubuh boneka akan bergoyang-goyang seolah dia hidup. Hiiih....

Tanpa sadar wajah Ipan meringis. "Ada-ada saja. Untuk apa menaruh boneka ini di pohon?" celetuknya.

"Assalamu'alaikum...." Ali mengucapkan salam, sembari mengetuk daun pintu.

Tok tok tok!

"Assalamualaikum...." balas sebuah suara berat.

"Haw, kenapa sahutannya macam tu?" gumam Ali, heran dia tidak mendapat balasan salam yang benar.

Ali berdiri menunggu, tetapi tidak ada tanda pintu itu akan dibuka. Bunyi langkah kaki orang di dalam pun tidak terdengar. Pemuda itu membuang napas resah, hingga anak-anak rambutnya beterbangan.

"Bolehkah aku dan temanku masuk, Sanak?! Kami diutus Pak Burhan ke mari buat bekerja. Beliau juga menitipkan surat buatmu," ujar Ali lagi.

"Cih, bunguuul! Khoookh... cuih!" Suara itu mengumpat dan meludah kasar.

"Kurang asam! Apa maksudmu mengatai begitu?!  Kami datang baik-baik, kau malah memancing ribut! Keluar kau kalau berani!" Ali mulai meradang.

"Roti, roti, roti, roti pisaaang...."

"Roti pisang?! Kami tak bawa roti pisang." Mulut Ali mencucu, kebingungan.

"Te, sateee... Satenya, Ding!"

"Sate pula?! Meranyau kau! Mana ada sate?!"

"Bwhahaha!" Ipan tak mampu lagi menahan. Tawanya menyembur seketika. Sudah sedari tadi dia memperhatikan dari bawah. Makhluk yang menyahuti Ali ternyata seekor burung beo dalam sangkar, yang tergantung pada tiang samping rumah.

SILUMAN PENGGODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang