#9

356 55 8
                                    

Perempuan sinting! umpat Ali dalam hati. Menahan napas tegang saat tangan si perempuan mulai berani mengusap-usap pahanya.

"Ayolah jawab mau! Kau tidak akan menyesal jadi kekasihku, Ali. Kita akan menjadi pasangan paling berbahagia, sakinah mawadah warahmah, hihihi...." Pelan tapi pasti, perempuan yang mengaku bernama Hali Manyar itu memutar leher ke belakang, memamerkan rupa wajahnya yang sedari tadi tidak terlihat.

Brakk!

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Ipan masuk dengan langkah sempoyongan sambil memeluk sebuah bantal. Mata belekannya setengah terpejam. Sebagian kepala tertutup dengan tapih kurung.

"Li, aku numpang tidur sini saja dulu, lah.  Banyak semut habang besarang di kamar sebelah. Habis kakiku digigit mereka," gerutu Ipan, menghempaskan tubuh tipis ke kasur kapuk, samping Ali. Tanpa memerhatikan kondisi semaput temannya.

"Sudah kayak kebun binatang saja rumah ni. Kabibitak, cacak, lipas, kalalawar, halimanyar, samut habang. Hoaaam..." Ipan menguap lebar, usai mengabsen nama-nama binatang yang ikut menghuni rumah. "Jangan-jangan naga pun sembunyi di bawah lantai... khoookhh...." Pemuda kurus itu langsung mendengkur keras, saking tak kuasa menahan kantuk.

Di samping Ipan, Ali masih tergemap memikirkan hal yang baru saja dia alami. Nanar memandangi langit-langit berhias sarang laba-laba yang menjuntai. Napasnya tersengal, keringat sebesar biji jagung membasahi dahi. Sosok perempuan berkepang dua bernama Hali Manyar terasa begitu nyata hadir dalam kamar itu. Tapi, seketika lenyap bak tersapu angin sewaktu Ipan membuka pintu.

Mimpi aneh yang membuat hati Ali tak nyaman.

Duaghh! Gluduk-gluduk... bugkk!!!

Tiba-tiba terdengar bunyi keras benda yang menimpa atap rumah lalu menggelinding jatuh ke bawah. Sangat mengejutkan. Getarannya  membuat jantung terasa meletup.

Kedua pemuda itu serentak terkesiap bangun.

"Bunyi apa barusan?!" Mata Ipan yang kemerahan membuka lebar.

"Entahlah, nangka masak mungkin yang jatuh." Ali meraup kasar wajahnya, sembari bangkit duduk.

"Nangka masak?"

"Hum, tadi siang, kulihat nangka madu samping rumah ni sudah pada kuning, besar-besar pula buahnya. Kenapa, senang bangat mukamu?" Ali menyipit menatap senyum sumringah Ipan.

"Eh, mau ke mana kau, Pan?" tegurnya lagi, melihat Ipan bangun dari kasur, tergesa menyelempangkan sarung pada bahu.

"Nangka madu mahal kalau dijual ke pasar. Nanti keduluan babi hutan," ucapnya dengan mulut maju.

"Waluh bajarang! Di luar gelap, Pan. Lagi pula ke pasar jauh."

"Kata Dulah orkes kampung sebelah sering kedengaran sampai sini. Berarti tak terlalu jauh.  Dari pada busuk sia-sia, lebih baik buah-buah di kebun tu dijual. Duitnya bakal bayar ganti rugi ke Pak Burhan.  Aku malas lama-lama tinggal di tempat begini."

"Bacotmu! Aku tahu yang ada di kepalamu tu duit bakal buat beli rokok sama minuman, iya kan? Bukannya buat ganti rugi."

"Terserah kaulah! Senter mana senter?"

Tak mengindahkan Ali, pupil Ipan menjelajah ke penjuru kamar. Diraih gagang senter yang terselip antara tiang dan dinding. Kantuknya kini sudah hilang membayangkan keuntungan hasil menjual nangka. Dari bunyi nyaring yang menggetarkan lantai sepertinya buah itu besar sekali. Kedua tungkai panjang Ipan lalu keluar dari kamar.

Tubuh kurus Ipan bergidik begitu berada di luar. Ternyata lebih dingin dan menusuk. Kabut tipis membatasi pandangan. Tapi, dia sudah kepalang basah. Dilebarkannya lagi sarung kurung ke bahu, biar sedikit lebih hangat.

SILUMAN PENGGODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang