Bab 04. Mawar Merah dan Tulip Putih

31 7 0
                                    

Attention!

Vote sebelum membaca, comment sesudah membaca.

Reward untuk dua orang yang aktif memberikan komentar masih berlaku!

Happy reading!

Sarapan bubur pagi ini adalah menjadi sarapan terindah yang pernah ada dalam sejarah hidupku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sarapan bubur pagi ini adalah menjadi sarapan terindah yang pernah ada dalam sejarah hidupku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana selanjutnya jika aku merutinitaskan hal ini dalam waktu yang berkepanjangan. Tentu akan sangat menyenangkan untuk diriku sendiri.

Setelah Adam menyebut dan memperkenalkanku sebagai calon pacar kepada tukang bubur dekat kampus, rasanya kupu-kupu di dalam perutku tidak ingin berhenti terbang. Mereka seakan tahu jika ada kebun bunga yang sedang merekah indah di taman hati yang telah lama menanti.

Waktu terasa bergulir begitu cepat ketika kami harus berpisah di koridor. Adam dengan kelas kalkulusnya, dan aku dengan tugas kelompokku.

Aku tidak menyangka jika waktu dapat menyapu cepat kebersamaan yang belum lama terjalin. Dengan teganya ia membiarkan perasaanku kembali kosong dengan realita yang berada di depanku saat ini.

"Bengong aja!" Seseorang tiba-tiba mengejutkanku. Setelah aku menoleh, ternyata itu Dian.

"Dian, bikin kaget aja." Aku mendorong tubuhnya pelan. Sahabatku yang satu ini gemar sekali mengejutkan orang.

"Gue lihat-lihat, tadi ada yang berangkat bareng naik motor, nih," celoteh Dian sembari menyenggol bahuku. Tentu saja sekarang ia sangat senang menggodaku.

"Diam-diam aja, ya, Di?" pintaku.

Mendengar permohonanku itu, bola mata Dian langsung membulat penuh.

"Apa?! Lo menyuruh gue untuk diam? Nggak bisa ... Nggak bisa ... ini, tuh, sesuatu hal yang sangat langka. Seantero kampus juga pasti bingung, Tha. Mereka akan bertanya-tanya ... sejak kapan Adam jalan sama cewek?"

Aku sudah mengetahui bahwa Dian akan seheboh ini. Tidak sungkan aku langsung saja membungkam mulut besarnya itu dengan kedua telapak tanganku. Aku tidak ingin ada gosip yang menyebar di antara aku dan Adam--khawatir jika pria itu nantinya akan merasa risih karena ucapan-ucapan yang akan didengarnya nanti.

"Dian ... Dian ... volume suara lo bisa dikecilkan sedikit, nggak? Nanti kalau banyak yang dengar gue jadi nggak enak sama Adam," ucapku sedikit khawatir.

"Memangnya kenapa kalau banyak yang dengar, Reth?"

Aku terpaku setelah sebuah suara menyapa indera pendengaran. Suara itu adalah suara yang sedari kemarin terngiang-ngiang di kepalaku.

Aku dan Dian sontak menoleh ke arah sumber suara. Dian yang ikut terkejut melihat kehadirannya di sini, tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajah berlebihannya.

Aku menatapnya lamat-lamat. Hatiku dipenuhi dengan pertanyaan tentang dirinya. Sejak kapan ia berdiri di sana? Bukankah beberapa menit lalu aku melihat dirinya sudah masuk ke dalam kelas untuk mengikuti mata kuliah kalkulus?

Menjadi Dia (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang