Bab 03. Nyarap Bubur dan Calon Pacar

44 7 0
                                    

"Pulang bareng?"

Aku yang asik berjalan di koridor kelas merasa terkejut. Adam yang entah sejak kapan berdiri di sampingku itu tengah mengiringi langkahku. Wangi tubuhnya begitu segar langsung membangkitkan semangatku yang sedari tadi mulai mengendur.

"Adam, bikin kaget aja!" Aku susah payah untuk bersikap biasa saja.

Sayang sekali, sepertinya tawaran Adam itu tidak akan aku terima kali ini karena aku membawa kendaraan.

"Sorry," ucapnya begitu datar. Ia tidak sekalipun menampakkan wajah bersalah karena telah berhasil membuatku terkejut. "Mau pulang bareng, nggak?" lanjutnya.

Aku menghela napas sebelum menghentikan langkah. Hal itu sontak membuat Adam turut berhenti pula. Kali ini ia berada di depanku satu langkah.

"Kenapa?" tanya Adam sembari menatapku bingung.

"Aku bawa mobil."

Tidak ada suara di antara kami. Adam tampak berpikir sejenak sebelum melanjutkan ucapannya.

"Kalau besok?" Alis tebal itu terangkat sebelah. Ia turut pula mencondongkan tubuhnya ke arahku. Jangan tanyakan bagaimana suara irama jantungku yang tidak kunjung tenang ini. Rasanya benar-benar kacau bagai kapas yang beterbangan ketika ditiup angin.

"Besok? Apa?"

"Berangkat dan pulang bareng gue. Gue jemput ke rumah lo," ucap Adam begitu jelas di telingaku.

Aku terpaku. Rupanya hal yang sedari dulu aku harapkan pun akan terjadi. Jika waktu itu aku berharap bahwa aku dan Adam akan pergi bersama menghabiskan waktu berdua setelah sabda cinta itu diutarakan. Harapanku memang sedikit berlebihan, tetapi akhirnya salah satu hal itu tanpa sengaja dapat aku wujudkan mulai dari esok hari.

"Reth?" Karena melihatku yang tidak melayangkan respon apapun, Adam melambaikan tangannya tepat di hadapan wajahku--mencoba menyadarkan lamunanku yang tentunya tidak ia ketahui.

"Eh--iya, Dam?"

"Lo dengar gue, nggak?"

Aku mengangguk cepat. "Dengar, kok!"

"Lagian dari tadi melamun aja, lagi mikirin apa, sih?" tanya Adam padaku.

"Nggak apa-apa, kok, Dam."

"Serius? Lo lagi nggak sakit, kan?"

Mendengar pertanyaan Adam yang mengira aku sakit langsung kutepis dengan gelengan kepala cepat. Jujur saja aku jadi merasa tidak enak karena mengabaikan Adam seperti tadi.

"Beneran?" Adam mencoba meyakinkanku.

"Iya."

Pria itu mengangguk paham. "Besok gue jemput," lanjut Adam.

Aku yang tidak tahu harus berbuat apa hanya mengiyakan perkataan Adam. Pasalnya, hati kecilku turut merasa bahagia karena pria yang aku sukai berkata demikian.

"Dam, serius?"

"Iya, Aretha. Kenapa Lo nggak percaya sama gue, sih?"

"Bukannya nggak percaya, Dam, cuma--"

"Pokoknya besok gue jemput di rumah jam enam pagi. Jangan ngaret, ya!" Adam berlalu dari hadapanku begitu saja. Ia bahkan tidak menanyakan pendapatku. Baru hari ini berbicara dengannya, rasanya aku telah menemukan Adam di sisi lain. Ia seakan berubah drastis dari pribadi yang kukenal di awal. Memang ini rasanya cukup membingungkan bagi diriku, tetapi aku tidak berusaha untuk masuk ke dalam pemikiranku yang terlalu melalang buana tanpa arah yang jelas. Atau mungkin, memang beginilah sifat Adam terhadap orang yang sudah dikenalnya.

Menjadi Dia (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang