Bab 13. Sirius, Bulan, dan Kamu

32 6 1
                                    

Happy Reading!

"Foto Luna di 2016, ya, Dam?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Foto Luna di 2016, ya, Dam?"

Nyatanya pertanyaan itu tidak mampu aku utarakan untuk Adam. Aku lebih memilih menahannya dan tidak bertanya apapun tentang foto itu.

"Kamu lagi unboxing semuanya?" tanya Adam dengan pandangan tertuju ke arah kotak-kotak yang berserakan di atas ranjangku.

Aku mengangguk seraya tersenyum, terlalu lemah untuk menjawab dengan suara.

"Nggak ada lagi, kan, yang ketinggalan, Dam?" tanya Mas Tendra memastikan.

"Oh ... nggak ada, kok, Mas. Ini aja yang tertinggal," jawab Adam sopan. "Kalau begitu pamit pulang dulu ya, Reth? Mari, Mas ...."

Aku pun perjalan di belakang Adam, berniat untuk mengantarnya sampai ke depan pintu.

"Kamu lari, ya, Dam?"

"Iya. Mobil aku di parkir di depan portal komplek kamu."

"Lho, kenapa nggak dimasukin aja?"

"Portalnya udah tutup, Reth."

Aku melirik jam dinding di ruang tamu. Ternyata memang sudah malam dan memgharuskan portal komplek di perumahanku tutup.

"Kamu mau aku anterin ke depannya, nggak? Lumayan jauh, Dam."

Adam tertawa. "Naik apa?"

Aku melihat sekeliling garasi. Di sana terdapat tiga motor milik kakakku. Akan tetapi, aku tidak bisa mengendarainya. Pandanganku kini tertuju pada sepeda berwarna biru yang memang milikku.

"Sepeda?" tawarku.

Adam mengikuti arah pandangku kemudian tersenyum. "Boleh. Biar aku yang bonceng."

Adam berjalan menuju sepeda biru tersebut dan menaikinya. Ia menyuruhku untuk duduk di jok belakang. Aku pikir, jalan-jalan malam naik sepeda bersama Adam tidaklah buruk.

Dengan cepat aku menghampirinya dan duduk di atas jok. Aku duduk menghadap depan, tidak menyamping seperti kebanyakan orang. Kedua tanganku memegang erat kemeja Adam, dan tidak lama pria itu melajukan sepeda.

Ditemani dengan bintang yang bersinar terang di atas sana, kami menyusuri perumahan dengan tenang. Tidak ada suara orang yang terdengar di sekitarku. Hanya suara jangkrik yang memang menunjukkan eksistensinya. Angin pun turut berembus begitu sejuk. Entah kenapa aku merasakan sedikit ketenangan. Aku hampir lupa dengan selembar foto yang aku temukan di antara bingkisan-bingkisan yang diberikan Adam padaku. Rasanya terlalu mudah untuk diriku melupakan hal yang baru saja terjadi, tetapi bukan berarti aku benar-benar melupakannya.

Menjadi Dia (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang