Bab 05. Sebuah Pertengkaran

38 7 0
                                    

Attention!

Cerita ini hanyalah fiktif belaka.

Jangan lupa vote sebelum membaca dan comment sesudah membaca.

Demi kebaikan bersama, jangan menjadi silent readers!

Akan ada rewards untuk 2 orang yang aktif memberikan kritik, saran, dan komentar positif.

Happy reading!

"Kamu lebih menyukai mawar, kan, Reth?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu lebih menyukai mawar, kan, Reth?"

Aku menatap mata Adam penuh arti, dan kembali mengarahkan tanganku ke tangkai bunga mawar--mengambil bunga itu dari genggamannya.

"Tentu," ucapku penuh keyakinan.

Setelah bunga mawar berpindah ke genggamanku, orang-orang yang mengelilingi kami bertepuk tangan dan bersorak. Hal itu menandakan bahwa mereka turut bahagia dengan pilihanku.

Aku tidak dapat berpikir jika seandainya tadi aku mengambil tulip putih. Pasti semua orang yang berada di sini termasuk Adam akan merasa kecewa denganku.

Aku menoleh ke arah Dian. Ia tersenyum tipis ke arahku. Aku yakin mengingat ceritaku yang selama ini aku bagi kepadanya, Dian turut pula merasakan bahagia seperti apa yang tengah aku rasakan saat ini. Aku sangat bersyukur karena setidaknya salah satu harapanku dapat terwujud.

Setelah melihatku begitu yakin memilih mawar merah, Adam langsung membuang tulip putih itu ke tanah, kemudian menginjaknya hingga kelopak bunga tersebut hancur.

"Bagaimanapun juga aku tidak akan pernah membutuhkan tulip putih," ucapnya seraya menampilkan senyum terbaiknya kepadaku. Aku pun yang tidak mengerti akan ucapannya, hanya ikut tersenyum.

Perlahan warga kampus yang mengelilingi kami memilih pergi dan melanjutkan aktivitas mereka. Aku kembali merasakan angin segar karena sedari tadi dibuat gugup dan kikuk.

"Selamat, ya, kalian! Akhirnya sahabat gue ini udah nggak jomblo lagi," ucap Dian memberikan selamat kepadaku dan Adam.

Aku masih tidak dapat mempercayai bahwasanya kini Adam telah menjadi kekasihku. Rasanya seperti mimpi di siang bolong.

Setelah mengucapkan selamat kepada kami, Dian berlalu dari hadapanku. Ia tentu mengerti untuk memberikan ruang bagiku dan Adam.

"Kamu bukannya ada kelas, ya?" tanyaku penasaran. Pasalnya, dosen dari mata kuliah kalkulus itu terkenal killer sehingga tidak ada satu pun mahasiswa yang berani bolos mata kuliahnya.

"Kamu nggak tahu? Pak Adi lagi cuti karena istrinya melahirkan."

Aku mengangguk paham. Pantas saja Adam berani keluar kelas di jam mata kuliah tersebut.

"Kamu jadi kerkom?"

"Jadi. Tadi aku mau langsung ke perpustakaan, tapi malah dicegah di sini."

Adam terkekeh pelan. "Aku temenin?"

Menjadi Dia (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang