Bab 09. Mimpi yang Nyata

35 6 0
                                    

Permisi! Mau mengingatkan kalau ada rewards untuk 2 orang yang aktif memberikan kritik, saran, dan komentar positif.

Jadi, vote sebelum membaca, dan comment setelah membaca, yaa!

Happy Reading!🤍

Happy Reading!🤍

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Aretha!"

Suara nyaring milik adik kandungku terdengar begitu jelas sampai ke bilik kamar. Aku sudah terbiasa dengan suara melengking itu. Karena ia anak paling bungsu, ia pikir merasa bebas melakukan apa saja di rumah ini.

Aku tidak berniat untuk membalas teriakan itu, karena jujur saja aku tidak mempunyai tenaga sedikitpun. Beberapa minggu ini aku didera rasa malas yang luar biasa. Mungkin ini adalah salah satu efek pertemuanku dengan Deri waktu lalu. Buah dari perbincangan itu berhasil membuatku overthinking setiap malam. Tidak ada langkah yang aku ambil seperti apa yang aku rencanakan sebelumnya. Rasanya aku tidak mampu untuk melakukan itu. Aku justru malah larut ke dalam pemikiran yang tidak-tidak.

"Aretha ini ada Kak Adam menunggu dari tadi!" Teriakan Yasha kembali terdengar. Kali ini membuatku semakin tidak bersemangat. Rupanya Adam ada di sini--pria yang mati-matian aku hindari beberapa hari ini.

Aku berniat mengabaikan teriakan Yasha. Kembali berbaring dan memejamkan mata rasanya tidak terlalu buruk. Aku ingin absen mata kuliah untuk sehari saja, setelah beberapa hari kemarin tidak cukup fokus untuk menerima semuanya. Beberapa hari ini aku juga tidak menemui Adam, padahal ia selalu memintaku pulang bersama. Ketika ia mencariku di setiap sudut kampus, aku selalu berakhir dan bersembunyi di toilet. Aku pikir itu cukup logis untuk aku lakukan mengingat diriku yang membutuhkan waktu untuk berpikir.

Ketenanganku kembali terganggu saat Mas Keni, Mas Tendra, dan Mas Wira menghampiriku ke dalam kamar. Tiga kakak lelakiku itu selalu kompak jika dirasa sikapku terasa aneh oleh mereka. Ketimbang dengan Yasha, aku justru merasa takut pada mereka bertiga.

"Kalau ada tamu yang ingin ketemu sama kamu, ya temuin dia. Kita lahir di keluarga yang sangat menghargai dan memuliakan tamu," ucap Mas Tendra dengan wejangannya.

Mendengar Mas Tendra berbicara seperti itu, aku pun merasa tidak enak. Mas Tendra ini selalu tegas kepada adik-adiknya. Walaupun ia adalah kakakku yang nomor dua, aku lebih takut dengannya daripada Mas Keni.

"Temuin dulu, Tha. Adam itu udah lama, lho," lanjut Mas Keni.

Aku pun dengan malas bangkit dari kasur dan berjalan menuju ruang tamu.

"Kalau sekiranya kamu lagi nggak mau ketemu sama dia, biar Mas Wira yang temani kamu." Mas Wira tiba-tiba berjalan mendahuluiku. Saat itu juga aku merasa sedikit lega karena salah satu kakak lelakiku ingin menemaniku saat aku bertemu dengan Adam.

Saat sampai di ruang tamu, aku melihat Adam yang duduk di kursi sembari menundukkan kepala. Setelah ia menyadari kedatanganku dan Mas Wira, Adam bangkit lalu berjalan menuju ke arahku. Ditatapnya diriku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki sebelum ia mengatakan, "Kamu baik-baik aja, kan?"

Menjadi Dia (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang