Bab 11. Hanya Salah Satu, ya, Dam?

37 6 0
                                    

Jangan lupa untuk vote sebelum membaca, dan comment setelah membaca.

Happy Reading!🤍

Tidak ada yang dapat aku saksikan dengan indah selain selingan tawa yang terpatri di wajahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ada yang dapat aku saksikan dengan indah selain selingan tawa yang terpatri di wajahnya. Aku mulai tersadar bahwa kehadirannya begitu aku dambakan, sampai-sampai membuatku lupa akan rasa sesak yang pernah diceritakan oleh orang lain. Aku hanya ingin sejenak melupakan apa yang harus aku pikirkan dengan keras.

Hari ini tidak terlalu buruk karena ada Adam. Pria yang tidak lain adalah kekasihku ini mampu membuatku merasakan bahwa cinta itu benar adanya. Aku ingin menepis sejenak prasangka yang aku tujukan untuk dirinya. Terlebih prasangka itu benar, aku ingin mengingat hari ini sebagai hari di mana Adam tersenyum karenaku--bukan karena orang lain.

"Reth, makan yang banyak, dong!" ucapnya sembari meletakan sebuah daging di atas piringku. Entah sudah berapa banyak makanan miliknya yang dipindahkan ke atas piringku. Dengan tawa yang begitu lepas serta senyuman yang terkesan lembut, Adam memandangku begitu dalam.

"Dam, dari tadi kamu suruh aku makan terus, tapi kamu sendiri cuma makan sedikit," protesku.

"Ini acara untuk kamu, Reth. Jadi, yang aku persembahkan ini ya untuk kamu." Perkataan Adam sontak membuatku tersipu. Begitu mengenal pria ini lebih dalam, nyatanya ada sisi romantis yang tersimpan di balik sikap dinginnya. Namun, apakah aku yakin telah mengenal Adam lebih dalam?

"Tapi kamu harus tetap makan, Adam! Jangan gara-gara ini semua untuk aku, kamu jadi nggak makan." Aku coba membujuk pria itu untuk makan. Tentu aku merasa tak enak jika ia tidak makan karenaku.

"Suapin," ujarnya sembari menampilkan wajah yang sangat menggemaskan. Hatiku ikut tertawa melihat tingkah Adam yang sangat langka ini.

"Kamu ini udah besar, lho, Dam." Aku turut mengambil beberapa potong daging lalu mengarahkannya ke mulut Adam. Dengan cepat ia membuka mulutnya--menyambut kedatangan daging yang masih berada di antara kedua jariku. Aku sengaja untuk tidak memajukan tangan, tetapi ia melahap daging tersebut sehingga jari telunjuk dan ibu jariku ikut menyentuh bibirnya.

"Dagingnya manis," ucapnya sembari menahan pergelangan tanganku. Posisi tanganku saat ini masih berada di depan bibirnya. Jangan tanyakan bagaimana keadaan jantungku saat ini. Bagai suara musik yang menggebu-gebu, detaknya tidak sudi untuk terdiam.

Aku terpaku sembari menatap pemandangan yang lebih indah dari tempat ini. Bagai terhipnotis, mataku enggan untuk berpaling. Wajah Adam memanglah sangat indah. Alis yang tebal, rahang yang tegas, bibir tipis nan merah bak buah delima, serta kedua mata yang terlihat tajam seperti elang pemangsa. Semuanya yang terpahat di wajahnya terlalu indah.

Adam merupakan salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang hampir sempurna. Aku mengakui hal itu karena memang ketampanan wajahnya dapat dibuktikan. Aku bersyukur dan merasa beruntung dengan takdir Tuhan yang telah membuatnya bersamaku saat ini.

Menjadi Dia (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang