sepuluh menit

70 9 0
                                    

"sore, cantik."

aku refleks mendongakkan kepala ketika sapaan bernada manis yang tak asing itu masuk menyapa indera pendengaran membuatku ikut menarik dua sudut bibir ke atas kala senyum menawan milik seseorang yang baru saja menyapa langsung menyambut mataku.

"sore, haris," sapaku kembali kemudian bertanya seperti tugasku yang seharusnya. "mau pesen apa?"

"kayak biasa aja," jawabnya.

aku mengangguk. mencatat pesanan haris, yang sudah kuhafal di luar kepala, pada komputer yang menyala di depanku, kemudian kembali memandangnya. "ada lagi?"

"kalo pesen waktu kamu sepuluh menit bisa, nggak?" dia malah balik bertanya dengan senyuman yang tak luntur.

"kamu cuma bisa pesen yang ada di menu, haris," jawabku.

"kalo gitu, besok aku usul ya sama mas donni biar kamu dimasukin ke menu," katanya yang hanya kutanggapi dengan gelengan kepala keheranan.

"kalo nggak ada lagi, totalnya jadi empat puluh dua ribu," ujarku, memotong konversasi tidak jelas yang sempat berusaha dibangunnya.

haris mengambil dompet dan meletakkan selembar seratus ribuan yang kemudian kuterima. aku mengotak-atik layar komputer di depanku, sejenak mengabaikan haris karena aku harus melaksanakan tugasku sebagai seorang kasir kafe.

"ini kembaliannya, silahkan ditunggu," ucapku ramah.

"boleh minta satu lagi?" pintanya sebelum benar-benar pergi mencari meja untuk duduk.

"minta apa?"

"mau request  lagu," jawabnya.

aku mengangguk memperbolehkan. selama lagu yang diputar tidak menganggu ketenangan umum, kafe tempatku bekerja ini memang memperbolehkan pelanggan me-request  lagu yang diputar jika mereka ingin.

"finding hope, more & more. tolong diputar ya, makasih, cantik," pintanya sebelum kemudian berbalik dan meninggalkanku yang membeku di tempatku berdiri dengan bayangan senyum haris yang masih terlukis jelas di kedua bola mataku.

"sama-sama, januar," balasku lirih. tidak peduli jika sang pemilik nama bahkan tidak bisa mendengar ucapanku.





#####



"nih, anterin," titah mas donni, pemilik kafe ini sekaligus barista utama, seraya menaruh nampan berisi satu gelas ice caramel macchiato pesanan haris di depanku.

aku sontak langsung memberikan pandangan protes ke arah mas donni. "mas donni kan tau aku nggak mau deket-deket haris. kenapa malah nyuruh aku nganterin, sih?"

"kan cuma nganterin doang nggak mas suruh balikan? lagian kamu tuh harusnya peka, dia dateng kesini tuh buat ketemu kamu."

bibirku merengut maju mendengar ucapannya.

"udah-udah sekalian temuin sana, mas kasih waktu sepuluh menit, spesial karena kamu udah bikin kita punya pelanggan tetap yang minimal dateng dua kali dalam seminggu."

"maaasss ...." rengekku seraya memasang wajah melas agar dapat mangkir dari tugas, yang bahkan jauh lebih berat dari tugas kenegaraan, ini.

"buruan ayo. nggak enak bikin pembeli nunggu." mas donni menyerahkan nampan, yang semula diletakkannya pada meja, ke tanganku kemudian mendorongku keluar dari counter bar.

aku mendecak kecil sebelum benar-benar berjalan ke arah meja yang dipilih haris untuk menjadi singgasananya selama beberapa waktu kedepan.

meja yang dipilih haris terletak tepat di tengah-tengah ruangan. meja itu adalah meja yang hampir selalu ditempatinya jika datang ke kafe ini. sebuah tempat yang strategis walau aku sejujurnya tidak peduli dimanapun dia akan duduk. yang jadi masalah adalah, meja itu membuatnya bisa dengan mudah memandangiku yang harus stay  di depan meja pemesanan menunggu pelanggan.

harta tahta eska. (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang