3. Sebuah Mimpi

962 145 35
                                    

"Hah? Lo ngomong apa barusan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hah? Lo ngomong apa barusan?"

Jayden bertanya seraya menatap Sacra intens. Samar-samar ia mendengar kalau adiknya yang satu ini menggumamkan sesuatu, tetapi tidak begitu jelas sehingga Jayden perlu memastikan kembali.

Sacra menggelengkan kepalanya. "Ada cewek di sini," katanya dengan raut wajah polos. Jayden melototkan matanya sambil menutupi tubuh bagian atasnya dengan selimut. Beruntung ia sedang berdiri di sisi ranjang Jensen. "Serius lo?" Jayden tentu saja panik. Wajahnya yang sedang panik itu justru menjadi hiburan bagi Sacra. Di saat hatinya tengah teriris oleh kenyataan bahwa sang ibu kembali berbohong, lagi-lagi Jayden atau Jensenlah yang mampu membuat Sacra lupa akan rasa sakitnya.

"Heheh, iya. Tapi tenang aja, dia juga nggak lihat kok, Kak. Kayaknya dia juga malu sendiri." Sacra melirik pada gadis berambut panjang yang terdiam di sudut kamar sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dasar hantu aneh.

Jayden menghela napas lega. Beruntung ini masih sore hari, jadi rasa takutnya tidak begitu mendominasi. Beda cerita kalau posisinya malam hari, mungkin dia akan langsung pergi. Entahlah, tetapi menurutnya, malam hari adalah waktu paling mencekam.

"Heh! Mau ke mana lo?" tanyanya saat melihat Sacra berjalan ke arah pintu ke luar. Jayden yang mulanya hendak mengambil baju, tentu tidak jadi karena takut ditinggal sendirian.

"Mau ke bawah. Lupa, siomay gue ketinggalan. Takut dimaling Kak Jensen."

"Tungguin, elah." Jayden buru-buru membuka lemari, mengambil bajunya asal, kemudian memakainya. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri secara was-was. Takut ada yang mengintip. Padahal dia sendiri tidak tahu apakah benar ada atau tidak, si cewek yang Sacra maksud. Sacra tertawa melihat kelakuan kakaknya itu. Ia hanya berdiri di ambang pintu, tak berniat untuk meninggalkan. Sacra masih memiliki rasa kemanusiaan.

"Ayok," ajaknya setelah pakaiannya lengkap. Ia merangkul Sacra dan membawanya pergi meninggalkan kamar. "Bunda ada nelepon lo nggak? Tadi dia telepon gue, tapi nggak ke angkat."

"Bunda udah telepon Kak Jensen, kok. Paling cuma tanyain kabar aja."

Jayden mengangguk paham. Merasa bersyukur karena setidaknya, telepon Viona ada yang mengangkat. Dilihatnya jam digital yang melingkar di pergelangan tangannya, tatapan Jayden kini tertuju pada sang adik. "Lo belum minum obat, ya?" selidiknya yang dibalas anggukan oleh Sacra tanpa ragu.

"Dibilangin jangan di nanti-nanti, gimana sih, lo? Sayang badan nggak, sih?!"

Sacra memutar bola matanya. "Kan lo Kak, yang minta di tungguin barusan? Lagian tadi tuh, gue lagi mau makan. Cuma karena Kak Jensen terima telepon Bunda, gue ngira kalo Bunda juga telepon gue, tapi ternyata enggak." Sacra berlalu menuju ruang keluarga, di mana siomaynya berada. Tinggallah Jayden yang diam mematung di undakan tangga terakhir. Ia merasa kasihan pada adik bungsunya itu. Bukan sekali dua kali ibu mereka memperlakukan Sacra dengan berbeda. Sejak kecil, ibunya memang terlihat lebih menyayangi dirinya dan Jensen. Tidak seperti ayah dan kakeknya yang memberikan afeksinya secara merata pada mereka bertiga.

My UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang