Chapter 6 : Joshi Hera

1.2K 121 2
                                    

Sementara kami beristirahat dimana tempat kami muncul. Serangga menjijikan terus mengusik pembicaraan kami dengan terus jatuh dari langit-langit. Perempuan secantik Mahari bahkan sama sekali tidak jijik dengan itu semua. Bahkan dia bermain dengan serangga tersebut. Aku hanya bisa menepuk jidadku melihat aksinya bermain dengan serangga-serangga tersebut. Apa ini yang mereka rasakan ketika tinggal bersama?

"Lukamu belum sembuh?" Tanya Kaito.

"Kano, lihat baik-baik! Sudah jelas dia belum sembuh."

"Aku tidak tahu jika 'nyawa' tersebut membutuhkan waktu cukup lama untuk bekerja. Bagaimana dengan rencana kita selanjutnya?" Tanya Kaito bingung.

"Belum terpikir olehku." Jawab Mahari tenang.

"Boleh aku bertanya, kenapa kalian dengan mudah membunuh monster-monster itu? Aku bahkan sudah menembaknya berkali-kali tapi tidak mempan."

"Sebelumnya titik mana yang kau serang?"

"Dadanya."

"Itu tidak akan berguna. Bisa dibilang monster tersebut memiliki kelemahan. Hanya perlu menembak kepalanya." Mahari berusaha menjelaskannya padaku.

"Bagaimana kalian tahu?"

"Kano yang menyadarinya. Gerak-gerik monster tersebut sedikit mencurigakan. Ketika kami menembakan peluru ke udara, monster tersebut bereaksi. Semua bergerak sesuai suara yang mereka dapat. Mereka akan diam jika tidak ada musuh tapi jika mendengar suara tembakan, mereka akan bergerak. Dan juga mereka menyerang jika ada objek asing terlintas pada pandangan mereka. Objek asing itu adalah kita sendiri. Kemungkinan besar semua tergantung dari pendengaran dan penglihatan. Kedua indra tersebut pastinya dikendalikan oleh syaraf otak, semua aktivitas asalnya dari sana. Jadi jika kita melumpuhkan pusat yang bekerja, maka semuanya akan terhenti."

Pemikiran yang hebat. Pintar sekali bisa mengetahui kelemahan musuh dalam kedaan genting. Tidak heran jika banyak gosip yang mengatakan bahwa Kaito sangat menyeramkan. Bukan perilakunya saja tapi otaknya yang bekerja juga sangat menyeramkan.

"Dan Yusa menyadari jika gua ini tidak akan diserang oleh monster tersebut. Ketika Akira menembakkan peluru di dalam gua ini, monster sialan itu tidak ada yang datang. Pasti tempat ini aman."

Dua pemikiran yang menakutkan. "Kalian sudah seperti manusia pada umumnya."

"Kita ini memang manusia tapi sayangnya sifat kita tidak seperti manusia pada umumnya. Kita hanya akan menjadi sampah masyarakat dan akan tetap dipandang sebagai manusia tak berguna."

"Tapi kalian berdua sudah berubah dari diri kalian pada awal permainan ini."

"Hanya sedikit." Kaito selalu ragu untuk mengatakannya.

"Hanya berubah sedikit. Hanya saja aku menyadari, membuat hati orang lain senang, itu sudah cukup untukku." Timpal Mahari tanpa ekspresi.

Hebat.....mereka berdua sudah menemukan titik terang dibalik kegelapan yang telah terselimut dalam diri mereka. Bagaimana mereka bisa percaya satu sama lain? Apa mereka tidak sadar betapa hebatnya kebencian yang sudah tumbuh di dalam diri mereka? Aku tidak terlalu yakin atas perkataan semua itu. Tapi pergerakan mereka sama sekali tidak mencurigakan untuk saling membunuh. Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa aku begitu iri?

"Setelah kematian Amira, bagaimana perasaanmu?" Tanya Mahari sambil melihat suasana diluar gua.

"Aku sedikit kesepian. Aku tidak mengira jika Akira akan membunuhnya padahal kami sudah membuat kesepakatan."

"Bukankah kau juga berubah? Itu sudah membuktikan bahwa kau tidak ingin seseorang menghilang dari sisimu. Hari ini aku banyak sekali bicara ya...." sambil menepuk-nepuk pipinya.

"Kalian juga tidak ingin salah satu dari kalian menghilang?"

"Biasa saja." Timpal mereka berdua.

Kalian berdua berbohong padaku. Saling peduli satu sama lain, itu sangat jelas terlihat. Haha pasagan yang cocok. "Boleh aku juga percaya pada kalian?"

"Tentu." Jawab mereka mantap.


Life GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang