14. Late again

289 54 2
                                    

Sebagai seorang ibu, umi hapal banget sama tingkah laku Naka saat sedang senang, sedih, marah, ataupun kecewa. Meski jarang di rumah, gitu-gitu umi Hanin mah peka kalau anak lanangnya ini sedang galau berat. Kebetulan hari ini umi libur, ambil cuti setelah lembur berhari-hari di rumah sakit. Umi Hanin dan Abi Yahya itu dua-duanya dokter. Tidak heran kalau keduanya jarang berada di rumah.

Umi mendekati Naka yang lagi melamun di balik kaca jendela kamarnya, menatap ke arah rumah sebelah. Umi tersenyum, rupanya masalah anak muda.

"Adek ngapain?" Tanya umi seraya duduk di kasur Naka.

Naka menoleh, balas tersenyum pada umi. "Gak ngapa-ngapain kok, umi. Umi sendiri ngapain kesini?" Tanya Naka balik. Naka merasakan hawa-hawa umi sedang kepo dengan permasalahannya. Soalnya Naka tahu pasti umi ini pekaan banget. Pasti umi sudah tahu kalau dia lagi galau brutal.

"Emang gak boleh dateng ke kamar anak sendiri?" Umi terkekeh pelan, dirinya gemas melihat raut cemberut Naka. "Ini hari Minggu loh, dek. Tumben gak sibuk di dapur?"

Raut cemberut Naka semakin menjadi-jadi. Ya gak salah sih, biasanya setiap hari Minggu, Naka bakal sibuk banget di dapur membuat cookies kesukaan April. Tidak pernah absen, seperti sudah menjadi rutinitasnya setiap minggu membuatkan cookies untuk April. Tapi sekarang beda, Naka patah hati. Berita jadian April dengan Martin kemarin membuatnya merana. Disaat dirinya sudah mulai menurunkan gengsi untuk mengakui perasaan, tapi ternyata takdir tetap tidak berpihak. Naka terlambat. Buah dari keragu-raguannya kemarin berakhir penyesalan. Sekali lagi Harsakha bener, jilat ludah sendiri itu pahit.

"Libur, mi. Adek cuti."

Umi mendelik, bisa gitu? Maksud dari tatapan umi. Sepertinya memang ada yang tidak beres dengan anak semata wayangnya ini.

"Adek teh berantem sama eneng?" Umi memang suka memanggil April dengan sebutan eneng. Kalau kata umi mah April itu udah kaya anaknya sendiri.

Naka menggeleng, dia tidak bertengkar dengan April. Hanya saja Naka tidak mood membahas apapun yang berhubungan dengan April. Bahkan Naka sengaja menghindari cewe itu sejak kemarin. Chat dari April saja tidak Naka buka, apalagi balas. Padahal kalau buka WhatsApp Naka, room chatnya dengan April yang dipin paling atas.

"Mana bisa adek berantem sama Mei, mi." Balas Naka, lantas segera berdiri. Namun, langkahnya terhenti saat umi menarik kembali kaosnya.

"Bagus deh kalau gak berantem. Tolongin umi dong, anterin opor ayam buat bunda." Kata umi tersenyum-senyum misterius. Naka yakin seratus persen nih, umi sengaja membuatnya pergi ke rumah April.

"Gak mau, mi. Adek suruh Ziel, Asa, atau Ical aja yang ngambil ya. Adek mager keluar." Buru-buru Naka menolak. Sungguh Naka paling menghindari bertemu April, tapi sekarang malah disuruh datengin rumahnya. Gimana kalau Naka canggung sama April? Gimana kalau Naka refleks menghindari April? Duhh bisa kacau dunia persahabatan mereka.

"Sana anterin! Masa iya yang mau dikasih ambil sendiri?!" Paksa umi.

Naka menggeleng kuat, " Ical aja ya umi, tadi anaknya ada di rumah kok adek liat. Ini adek telpon dulu." Naka meraih ponsel yang ada di nakas samping kasurnya. Tapi keburu diambil umi.

"Gak ada nyuruh Ical. Sana anterin! Sekali nolak, uang jajan umi potong!" Kalau sudah begini Naka mah pasrah, mau tidak mau menuruti perintah umi.

Sekarang anak tunggal abi Yahya itu sudah berdiri di depan pintu rumah keluarga ayah Arya. Naka mengusap rambutnya, tanda sedang gugup. Kepalanya sibuk menyusun skenario terbaik kalau saja bertemu April nanti.

Setelah mengetuk pintu seraya salam tiga kali, akhirnya pintu lebar itu terbuka, menampilkan muka bantal Cecil yang baru bangun tidur.

"Eh? Abang Na?" Mata Cecil langsung terbuka lebar melihat tamu yang datang. Buru-buru remaja yang duduk di bangku kelas tiga SMP itu merapikan rambut berantakannya.

Friend to Love || Jaemrina ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang