Friend or What? : Dari permen jatuh ke hati

82 4 0
                                    

Berbicara tentang Nalia, sebagai sahabat paling dekat, Radhika selalu punya cara agar gadis itu tetap dalam pandangannya. Katakanlah Radhika bucin, tapi siapa sih yang tidak menaruh suka pada anak gadis bapak Nakama itu. Berbicara tentang fisiknya saja, Tuhan seperti tersenyum saat menciptakan gadis itu. Meski mewarisi paras sang ayah, perawakan Nalia jelas berasal dari ibunya. Tubuh tinggi semampai, kulit putih bersih, dan yang paling mempesona adalah rambut panjangnya, selalu tergerai indah bak model iklan shampo di televisi. Selain kesempurnaan visual, Nalia juga dianugerahi otak yang cerdas, meski bukan terpintar di kelas. Lebih fantastis lagi, gadis Nareaji itu adalah tahta tertinggi di keluarganya. Anak pertama, cucu pertama, keponakan pertama, tambah lagi dia satu-satunya perempuan diantara para cucu, behh primadona sekali princess yang satu ini. Jadi adakah alasan untuk Radhika tidak menaruh suka pada sahabat perempuannya itu? Kalau tidak ingat status persahabatan mereka, sudah dari dulu Radhika tembak.

"Dhika!! Lo di rumah, kan?!! Gue masuk yaa." Terdengar suara cempreng dari luar rumahnya. Radhika tersenyum bergegas keluar dari kamar bertepatan dengan Nalia yang rusuh masuk ke rumah tetangganya itu.

"Tumben lu pake bilang segala, biasanya langsung nyelonong masuk." Komentar Radhika mengambil alih kardus yang dibawa Nalia.

Gadis itu tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang tersusun rapi. Sekedar info, Nalia suka nyengir kaya bapaknya.

"Bantuin nyusun lego dong. Punya om Jio nih, katanya kalo gue bisa nyusun bakal di upah seratus ribu." Tanpa perlu persetujuan Radhika, Nalia langsung menghamburkan lego yang di dalam kardus itu.

Jadi terpaksalah Radhika ikut menyusun tumpukan lego itu. Kadang Radhika bingung dengan jalan pikir Nalia, kalau cuma butuh uang seratus ribu mah tinggal minta ke bapaknya, tidak usah susah-susah pake nyusun lego punya om Jio segala.

"Salah, Nare. Yang ini di sebelah sini." Radhika membenarkan posisi lego yang salah disusun Nalia. Jarak mereka sangat dekat, Radhika bahkan bisa merasakan hembusan napas Nalia.

Seperti ada yang memacu jantungnya agar berdetak lebih cepat. Radhika buru-buru menjauh, takut-takut Naka tiba-tiba muncul di ambang pintu untuk membunuhnya. Namun, disaat Radhika menjauh, Nalia justru mendekat, berusaha mengikis jarak diantara mereka. Gadis itu memperhatikan kedua mata besar Radhika yang mendadak gemetar.

"Gue masih heran, dari dulu lo selalu gugup kalo deketan sama gue." Ucap Nalia dengan wajah serius. Kedua manik bulatnya masih menatap Radhika lekat.

Radhika ketar-ketir. Gimana kalau pawang gadis ini tiba-tiba muncul membawa samurai yang disiapkan khusus untuk menebas siapapun yang mencari gara-gara pada anak gadisnya.

"... Gue ini ada energi negatif ya."

Mungkin inilah yang dinamakan keadilan. Nalia yang dianugerahi berbagai macam kesempurnaan juga tetap memiliki kekurangan, yaitu tidak peka. Dan kekurangan gadis itu juga yang membuat Radhika lega sehingga ia tidak perlu menanggung malu, meski gregetan banget.

Radhika menggeplak pelan jidat Nalia, membuat gadis itu langsung mendesis kesal.

"RADHIKANJING!! SINI GUE GEPLAK BALIK PALA LO!"

"COCOT LO NAREAJI! GUE ADUIN KE BAPAK LO NIH."

💌

Kehidupan Radhika sehari-hari hanya seputar bangun tidur, mandi, makan, sekolah, belajar, main sama Nalia, nongkrong, makan lagi, dan tidur. Begitu terus tanpa ada perubahan. Radhika pertama kali pindah ke rumah yang sekarang ia tempati pada usia tujuh tahun, tepat satu bulan setelah perceraian kedua orangtuanya, pengadilan memutuskan hak asuh jatuh pada mamanya. Disaat anak-anak lain memiliki dua orang tua, Radhika lebih hebat, dia memiliki empat orang tua. Papanya dua, mamanya juga dua.

Meski sejak kecil ikut mama, Radhika juga sesekali akan menginap di rumah papa. Dulu ia benci fakta kedua orangtuanya bercerai, tapi semakin kesini Radhika memilih menerima. Mau sekeras apapun ia menolak, kenyataan sudah terjadi. Tidak ada yang bisa Radhika lakukan selain diam dan menerima.

"Kamu mau permen?"

Radhika tersenyum, teringat momen pertama kali bertemu Nalia. Gadis kecil itu tanpa ragu menghampiri Radhika yang sedang bermain sendirian di taman komplek. Radhika mengingat semua itu dengan jelas, seolah pertemuannya dengan Nalia sembilan tahun lalu baru terjadi kemarin sore.

"Kok kamu gak jawab?" Nalia kecil bertanya lagi. Heran dengan anak laki-laki di depannya itu cuma melongo tanpa bergerak sedikitpun. "Kamu gak suka permen yaa?" Ujarnya.

Radhika menggeleng, lantas mengambil satu permen yang ada di telapak tangan anak perempuan itu. Nalia tersenyum, senang karena permen pemberiannya diterima dengan baik.

"Nama aku Nalia. Kata ayah, nama panjang aku Nalia Zafira Nareaji. Mau main sama-sama?"

Radhika langsung mengangguk, menggeser tempat duduknya agar Nalia bisa bermain pasir bersamanya.

"Nama kamu siapa?" Tanya Nalia tanpa mengalihkan perhatiannya yang sibuk memasukkan pasir ke dalam ember.

"Dhika. Nama aku Radhika." Radhika menjawab singkat. Dia masih agak malu untuk berbicara lebih lama.

Nalia tersenyum manis, memamerkan deretan giginya yang ompong di bagian tengah bawah. "Kata ibu kalau sudah bermain bersama berarti teman. Kamu sekarang teman aku, iya kan Dhika?"

Radhika tidak menjawab. Anak laki-laki itu sok-sok sibuk menata pasir di dalam ember. Sayup-sayup terdengar suara gerutuan kecil disampingnya.

"Huhh Dhika sok kul kaya om Ziel kalo ketemu tante Yara."

Diam-diam Radhika tersenyum tipis. Ia senang memiliki teman. Sekarang Radhika tidak perlu khawatir bermain sendiri. Karena dia sudah memiliki teman, namanya Nalia.

"Senyam-senyum kek orgil lu." Tegur Eji melempar gulungan tisu mengenai kepala Radhika.

"Mikirin Nalia kan lo? Udah ketebak sih. Muka lo keliatan gejala orang kena friendzone. Senyam-senyum gak jelas, bucin mampus, tapi takut ngaku." Cemooh Eji diakhiri dengan tawa terbahak-bahak.

Sekarang mereka berdua lagi ada di teras rumah Eji. Nongki berdua sambil genjreng gitar, ditemani dengan segelas kopi hitam dan pisang goreng bikinan emaknya Eji.

"Yang ditolak ratusan kali gak usah sok keras ya! Muka elit, percintaan sulit." Balas Radhika.

Eji langsung diam tak berkutik. Jelas dia kalah telak. Siapapun tahu sepak terjang Eji dalam dunia percintaan selalu menemui kesialan. Dari jaman SMP sampai sekarang sudah masuk SMA, cinta Eji sama sekali belum pernah diterima. Radhika tahu betul Eji sudah ditolak oleh Kinan, Olivia, Putri, Eliza, Wilis, Zuriya, Miranda, Mita, Yuli, Sahira, Vio, Kia, Amel, Lia, Raudah, Emel, Meli, Hawa, Ghea, Safa, Habibah anak pak RT sebelah, dan Habibah anak pak haji Ruslan. Nasib buruk memang. Padahal mukanya Eji lumayan dibanding si Bogel jamet yang sering geber-geber knalpot motor di perempatan.

"Gak usah ngejek, su!"

Radhika cuma nyenyenye doang. Kisah cintanya emang ngenes karena friendzone, tapi Eji lebih ngenes karena gak ada yang mau.

"Tapi ya Dhik, misalnya nih ya. Kalau Nalia suka sama orang lain, lu gimana?"

Radhika terdiam sebentar. Nah itu dia masalahnya, Radhika tidak tahu harus bagaimana jika suatu saat Nalia menyukai orang lain.

"Gue belom kepikiran sampe situ."

Bohong. Radhika bahkan sudah memikirkan itu sejak tiga tahun lalu. Saat ia pertama kali sadar bahwa Nalia bukan cuma sekedar sahabat baginya.

"Misalnya gue tembak si Nalia, lo marah gak?"

Radhika langsung menoleh, menatap Eji dengan sorot membunuh. "Gue gak cuma marah doang, sekalian nyawa lo gue musnahin dari dunia."

💌

To be continued...

Friend to Love || Jaemrina ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang