Nyamannya Seorang Kakak

786 36 0
                                    

Bagi seorang Davian Argasanjaya, arti dari sosok Kakak itu cukup dengan Ravian Askara, tidak lebih. Selalu Davian syukuri karena dia memiliki Kakak seperti Ravian. Bahkan Davian sendiri selalu meminta agar disemua kehidupannya di lain waktu, dia ingin agar tetap memiliki Kakak seperti sosok Ravian, apapun keadaannya.

Karena baginya, selain menjadi sosok Kakak yang hebat, Ravian juga bisa menjadi sosok teman yang membuatnya nyaman apapun situasinya.

Tempatnya menceritakan seluruh suka dukanya, bahkan sosok Ravian telah menjadi tempatnya untuk pulang. Ravian telah menjadi rumah ternyaman bagi Davian.

Hal yang disayangkan hanyalah sosok Ravian bukanlah Kakak kandungnya. Ravian adalah anak dari istri baru Ayahnya. Ravian adalah anak dari orang yang membuat Davian terpaksa hidup dengan satu ginjal. Dan Ravian adalah anak dari orang yang membuat Ibu kandungnya harus pergi untuk selamanya.

Davian membenci orang yang menjadi sosok pengganti ibunya, tapi Davian tidak bisa. Karena tanpa orang itu, Davian tidak akan bisa bertemu dan merasakan sosok Kakak seperti Ravian.

“Dav, obatnya udah di minum?” tanya  Ravian yang setiap pagi selalu masuk ke kamarnya dan menanyakan apakah Adiknya itu sudah meminum obatnya atau belum.

Davian mengangguk, memperlihatkan sampah bekas obatnya, “baru. Soalnya tadi diem dulu habis makan. Kembung.”

“Kenapa gak makan bareng di bawah? Gue nungguin lo tau,” ucap Ravian lalu duduk di samping adiknya yang sedang memakai kaus kaki.

“Nanti Mamah marah,” ucap Davian pelan, yang masih dapat di dengar oleh Ravian.

Ravian menghembuskan napas pelan dan tersenyum kecil, “tapi kan ada gue yang pengen makan bareng sama lo,” ucap Ravian lalu tersenyum.

“Jangan bang, nanti pagi-pagi udah ribut. Malu sama sebelah.”

“Maafin Abang ya?”

“Loh? Kan bukan salah abang. Davi juga udah biasa kok, jadi gak masalah.”

Ravian menatap Adik tirinya itu dengan sendu, “kalau Abang mau makan bareng kamu setiap pagi di sini, gak papa kan? Ngobrol pagi itu enak tau Dav.”

“Tapi nanti Abang dimarahin sama Mamah. Kasian kalau Mamah harus makan sendiri, Ayah kan belum pulang.”

“Kamu sendiri juga malah makan sendiri Dav.”

Davian tersenyum, “Davian beneran udah biasa kok Bang. Sebelum di sini juga Davi udah biasa makan sendiri karena Ayah lagi kerja dan Bunda lagi berjuang.”

“Maaf.”

“Bang, gak papa beneran. Jangan minta maaf terus, Davi jadi gak enak.”

“Dav, kalau bisa milih gue juga pengennya lahir dari rahim Bunda lo. Gue pengen jadi Kakak kandung lo, bukan jadi Kakak lo dalam keadaan buruk kayak gini.”

“Bang, dalam keadaan ginipun gue beneran sujud syukur karena bisa jadi Adik lo. Dan bagi gue, ini bukan keadaan buruk. Ini keadaan baik karena gue bisa ketemu sama lo.”

***

Satya dan Davian tertawa pelan melihat kelakuan Azka dan Jarga yang sedang berdebat hanya tentang kelas hari ini kosong atau tidak. Terkesan tidak penting, tapi itulah mereka.

Seno yang baru saja kembali dari kantin langsung mendengus melihat perdebatan tidak penting antara kedua pria asal Jakarta dan Surabaya itu.

“Ini gak mau berhenti nih lo berdua?” tanya Seno.

Azka menatap Seno kesal, “naon maneh? Mau ikutan?”

Ari sia! Nanaonan ceunah aing miluan? Lo berdua tuh debat mulu, supek ni kelas. Lagian, jamkos sampai akhir atau enggak mana penting sih,” ucap Seno.

DaviRaviTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang