"Mereka bilang sayang, tapi rasanya ku seperti dibuang. Semua pergi, meninggalkan janji yang tak mampu ku genggam sebagai jaminan."
- Arnav dan Lautan -
.
.
.
.
..
.
.
.
.Sewindu sudah daksanya dipaksa kuat menghadapi kerasnya dunia tanpa kasih sayang seorang ibu bapa. Batinnya ditempa semesta tanpa welas tanpa jeda. Bocah kecil ringkih yang sering menangis kini telah tumbuh menjadi anak yang lebih kuat. Tak lagi terlihat air mata di pipi, juga tak terdengar lagi isakan dari dalam diri. Ia sudah lebih tegar atas segala hal yang terjadi dalam hidupnya.
Meletakkan tas ke atas meja anak laki-laki yang kini berusia 13 tahun itu menyandarkan punggungnya ke kursi. Tangannya ia kibas-kibaskan di depan leher sebab merasa begitu gerah. Cuaca siang hari ini memang begitu panas, apa lagi dirinya sedang berpuasa. Ah, ia jadi semakin tak sabar untuk segera merayakan lebaran padahal puasa belum genap satu pekan ia jalani.
Melirik jam di dinding yang sudah menunjuk ke angka dua anak itu beranjak dari tempatnya untuk segera mengerjakan PR agar nanti malam bisa salat tarawih dengan tenang tanpa beban. Membuka sebuah buku paket tangannya dengan lincah menari-nari di atas buku tulis, menghitung angka-angka dengan rumus.
"Nav," suara itu praktis membuat si pemilik nama menoleh ke sumber suara.
"Abang, kok tumben sudah pulang? Masuk aja," ucap Arnav saat melihat Pandu hanya berdiri di ambang pintu.
Remaja bertubuh tinggi dengan seragam putih abu-abu itu lantas masuk dan duduk di tepi tempat tidur sang adik. Arnav yang merasa bahwa pandu akan membicarakan sesuatu pun akhirnya menutup buku lantas duduk menghadap sang kakak.
"Ada apa, Bang?" tanya Arnav.
"Enggak ada apa-apa. Abang cuma mau lihat kamu aja," jawab Pandu yang diakhiri dengan senyuman simpul yang tipis.
"Masa sih?" kata Arnav seraya menaikkan salah satu alisnya yang malah membuat Pandu terkekeh kecil.
"Abang mau mengunjungi makam Ayah Handi dan Tante Hanin, kamu mau ikut?" tanya Pandu membuat Arnav menegakkan punggungnya seketika.
"Mau! Kapan, Bang? Arnav juga sudah rindu sekali dengan bunda," tanya Arnav antusias.
"Nanti. Sekarang kamu selesaikan dulu tugasmu. Abang juga mau istirahat sebentar," tutur Pandu yang dibalas anggukkan mantap oleh adiknya.
Dua remaja laki-laki dengan celana panjang hitam dan kemeja mengayuh sepeda memasuki sebuah tempat yang sudah lama tak mereka datangi. Memarkirkan sepeda di samping gerbang mereka lantas berjalan melewati jajaran banyak nisan. Keduanya lantas berhenti di depan dua makam kakak beradik.
Baik Pandu maupun Arnav keduanya sibuk dengan batin mereka sendiri-sendiri. Arnav mengusap lembut batu penanda milik sang bunda. Lengkungan tipis terbentuk di wajahnya saat ingat sedikit memori berharga bersama bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arnav dan Lautan | Haechan [END]
Fanfiction[Follow dulu sebelum membaca] ⚠️Belum direvisi, mohon maaf jika terasa berantakan. Lazuardi Arnav Baswara, pria penuh luka dengan sejuta tawa. Bertahan hidup dengan satu dendam yang tersemat dalam hatinya. Perjalanan untuk menemukan sosok yang telah...