Naruto membaca surat hasil pemeriksaan kehamilan Hinata lamat-lamat, dia tak ingin melewatkan satu kata pun yang tertera dalam lembaran kertas berwarna putih tersebut.
Di dalam amplop itu terdapat satu surat, dua lembar foto USG, dua strip testpack dengan garis merah yang nampak tebal dan nyata.
Semua ini jelas mengatakan bahwa Hinata tengah mengandung. Di dalam surat itu tertera bahwa usia kandungannya delapan minggu.
Jika menarik memori ke dua bulan lalu mereka memang bercinta tanpa pengaman, tak seperti biasanya.
Hinata duduk di samping Naruto sambil termenung menatap pangkuan. Pria itu akhirnya membawanya ke apartment untuk bicara empat mata soal ini.
"Aku akan bertanggung jawab." Naruto melipat surat itu dan meletakannya di atas meja kaca di depan mereka.
Hinata tak mengatakan apapun pada saat itu, dia terkejut Naruto mengatakan kalimat yang tak dia pikirkan sebelumnya.
"Ayo, katakan pada Ibu yang sesungguhnya." Naruto meraih tangan kiri Hinata di atas pangkuan dan menggenggamnya dengan lembut.
Kini Naruto sudah pulih dari rasa terkejutnya. Isi kepalanya yang semula berkecamuk juga sudah kembali tenang, kini dia bisa berpikir rasional. Hinata sekarang hamil anaknya, di situasi hubungan mereka yang amat abu-abu, tapi Naruto sangat mencintai Hinata, meski Hinata tak pernah percaya pada kata cinta yang selalu ia ucapkan.
Kini jalan buntu ada di pihak Hinata sedangkan Naruto sangat ingin menikah dan bertanggung jawab, memiliki bayi mungkin bisa dirinya lalui.
Meski itu terdengar berat karena memiliki seorang anak adalah tanggung jawab seumur hidup di hadapan Tuhan.
Namun Naruto harap kehadiran bayi itu bisa jadi jembatan untuknya dan Hinata bersama-sama dan memperjelas warna hubungan mereka yang selama ini abu-abu.
"Kau tidak menginginkan ini." Hinata yakin begitu maka dia menatap mata Naruto dan berucap serius.
Naruto tak ingin bertengkar dengan Hinata malam ini. Wanita itu tengah hamil, dia yakin ini adalah masa yang sangat sulit untuk Hinata lewati. Wanita itu masih begitu muda dan dia nampak bimbang pada situasi ini seolah kebingungan untuk mengambil keputusan.
"Hinata, lihat aku." Naruto meminta Hinata menatap matanya, mereka harus bicara. "Sekarang ini bukan soal kita berdua lagi, tapi ini soal bayinya."
Hinata entah kenapa merasa takut mendengar ucapan Naruto yang seolah menyadarkannya bahwa dirinya saat ini tengah mengandung seorang anak. "Aku ingin merawatnya sendiri."
"Lalu bagaimana denganku, apa aku tidak berhak?" Naruto menarik lembut dagu lancip Hinata agar mendongak menatapnya, karena wanita itu terus saja menundukan pandangan sambil mengucapkan hal yang tak masuk akal.
Hinata menggeleng "aku tidak ingin menjalani sebuah keterpaksaan." Dia ingin mendahului penolakan. Jadi sebelum ditolak dan disakiti, dia ingin melindungi dirinya lebih dulu.
"Aku tidak mengerti kenapa kau selalu berasumsi." Naruto bicara serius kali ini sambil menatap amethyst Hinata yang digenangi air mata. "Aku menginginkanmu, aku ingin bertanggung jawab untuk bayinya, dia darah dagingku juga."
Hinata menggeleng, bahkan saat mata biru itu menatapnya, dia tahu pria itu tak sungguh-sungguh. "Sejak awal ini kesalahanku. Seperti yang selalu kau katakan, aku salah karena terus membuka pintu untukmu."
"Sudah cukup Hinata." Naruto memejamkan mata kala rasa sesak menghampiri dadanya karena Hinata selalu mampu membalikan ucapannya.
"Pertanyaanku yang selalu kau elak, ayo jawab malam ini. Kenapa kau selalu menerimaku jika memang kau berpikir bahwa aku brengsek?" Naruto ingin dengar jawabannya karena dia tidak tahu kenapa semua harus serumit ini jika wanita itu pun sebenarnya mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
If It's Our Fault
FanfictionJika hanya untuk saling mengisi kekosongan, bukankah itu tak bisa disebut cinta? #Naruhina