34

1.5K 283 8
                                    

Hinata menatap kediamannya yang dikepuli asap tebal, bagian depan sepertinya terbakar habis. Asap terus bergerak ke arahnya dan hawa panas terasa semakin memburuk dan membakar kulit.

Wanita itu melangkah sejauh mungkin dari titik api dan menundukan tubuh di dekat dinding pagar sambil mendekap bayinya.

Boruto terus menangis, asapnya terus terhirup dan hawa panas ini perlahan membuat kulit bayinya memerah.

Hinata menyalakan keran air di dekat kolam ikan di sampingnya lalu mengusapkan air di wajah Boruto.

Wanita itu berlutut menghadap dinding sambil memeluk putranya erat-erat, meski punggungnya terasa begitu panas, dia tidak peduli.

Kenapa Tuhan tega sekali, belum genap sebulan usia bayinya dan mereka harus mati dengan cara seperti ini?

Hinata menangis terisak, dia menatap wajah Boruto yang juga terus menangis. Satu jam lalu, bayinya masih terlelap dengan nyaman di dalam rumah, lalu kenapa semua berubah secepat ini?

Wanita itu menepuk punggung bayinya dengan lembut, memberikan rasa tenang yang mungkin untuk terakhir kalinya.

"Maafkan Ibu, Boruto." Hinata membawa bayi itu ke pelukannya. Tak ada jalan keluar, dirinya mungkin akan berakhir seperti ini.

...

Tidak, Naruto tidak akan hanya berdiri di sana, menatap mansion itu dilalap api dan membiarkan istri dan anaknya jadi abu tepat di depan matanya.

Pria itu melepaskan jasnya dan melemparnya secara asal kemudian dia berlari menuju kediamannya dan masuk ke dalam garasi, ada alat pemadam api ringan di sana.

"Tuan!" Ko ikut berlari ke garasi.

"Ko, bawakan tangga ke dinding belakang." Naruto kembali berlari ke depan mansion. "Aku harus masuk."

Ko tidak bisa bilang tidak dan melarang. "Baru bagian depan yang terbakar, pagar sudah jatuh."

Naruto melepaskan pengait di bagian selang alat pemadam api itu dan tanpa keraguan melangkah masuk ke dalam kepulan asap di depan mansion. Pria itu menyemprotkan alat pemadam api itu untuk membuka jalan agar bisa melangkah masuk.

Ko bergegas membawakan tangga dari garasi kediaman Uzumaki ke dinding pagar bagian belakang mansion.

Naruto nyaris tak bisa melihat apapun, hawa panas terasa seperti membakar kulit dan matanya pedih karena asap, namun dirinya hapal betul seluk beluk mansion itu.

Pintu depan sudah hancur, plafon berjatuhan dan apinya membakar dengan garis lurus, seakan ada sumber yang sengaja dipasang. Ah, itu bahan bakar.

Begitu dirinya masuk sambil terus menyemprotkan alat pemadaman api itu, Naruto mendengar suara tangisan putranya menggema keras sekali, membuat dadanya diremat kuat-kuat. "Boruto."

Naruto tak punya banyak waktu, alat pemadam ini akan segera habis, dirinya harus masuk dan menghindari plafon yang berjatuhan untuk menghampiri suara tangisan putranya.

Matanya sulit melihat namun suara tangisan bayinya menuntun kemana dia harus melangkah.

Naruto memecahkan pintu kaca menuju halaman belakang, tak peduli tangannya telah dipenuhi luka gores.

Ruang dapur terasa seperti neraka, panas dan menyesakkan. Pria itu berlari cepat sekali, tubuh bergerak lebih cepat dari isi kepala. "Hinata!"

Pria itu melangkah keluar dari pintu halaman yang belum terbakar dan mendapati wanita itu ada di sana, berlutut menghadap dinding sambil mendekap bayi mereka yang menangis keras sekali.

If It's Our FaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang