Naruto melepaskan bathrobe yang melekat di tubuhnya kemudian bergabung ke dalam bathtub di mana istrinya sudah ada di sana lebih dulu.
"Apa aku membuatmu marah?" Bisik Naruto setelah dia duduk di bathtub itu tepat di belakang istrinya.
Hinata menoleh dan menggeleng "tidak."
"Kau terasa dingin sejak kecelakaan itu." Naruto bisa merasakannya, meski wanita itu tetap melayaninya di rumah, membalas peluknya saat tidur, dan tidak mengabaikannya, rasanya tetap berbeda.
"Hanya perasaanmu." Hinata mengusap lengan pria itu yang memeluk bahunya.
"Benarkah?" Naruto lalu menarik wajah wanita itu dengan lembut dan mencium bibirnya. Ciuman itu tetap berbalas, lumatannya terus bersambut, namun entah kenapa Naruto tidak merasa tenang. Mungkin karena dirinya berbohong pada Hinata?
Hinata menyudahi ciuman itu lebih dulu dan beranjak dari bathtub "maaf aku mulai kedinginan." Dia pergi dan meraih bathrobe miliknya yang tersampir di hanger dan mengenakannya.
Naruto ikut beranjak kemudian mengenakan bathrobe miliknya sendiri dan menghampiri wanita itu yang berdiri di depan cermin sambil mengikat tali bathrobenya. "Aku ingin bicara." Dia mendekap tubuh wanita itu dari belakang dan menghadap kaca.
Hinata melepaskan ikatan di surainya dan bersiap kembali ke kamar. "bicaralah."
"Kau takut terjadi sesuatu padaku?" Naruto membalikan tubuh wanita itu dan menyandarkannya di washtafel counter.
Hinata menatap mata suaminya "tentu saja takut." Dia mengamati wajah pria itu, perban di pelipis sudah dilepaskan pagi tadi meski bekas jahitannya masih nampak basah dan belum pulih.
"Jangan takut Hinata, aku akan baik-baik saja." Naruto membelai surai wanita itu dan menyisirnya dengan jari.
"Tou-sama pernah mengatakan hal yang sama padaku." Hinata menyentuh kelopak mata kiri pria itu tepat di bawah pelipisnya yang terluka. "Tapi Tou-sama tidak menepatinya. Dia berbohong padaku."
Naruto masih mengamati wajah wanita itu yang dipenuhi kesenduan, dirinya mengerti bahwa wanita itu sangat khawatir. "Aku tidak akan ingkar padamu."
Hinata tersenyum sendu sambil menatap biru saphire pria itu. "Tapi apa kau akan berbohong padaku?"
Naruto tak bisa menjawab pertanyaan itu karena nyatanya saat ini pun dirinya selalu menutupi soal rencananya membuka kasus itu lagi, dirinya belum tahu bagaimana cara untuk menyampaikannya pada Hinata. Rasanya seperti terus berlari meski tahu di depan ada pagar berduri menghalangi.
"Tolong jangan berikan aku rasa sakit itu dua kali." Pesan Hinata secara tersirat, dia harap suaminya mengerti soal ketakutannya.
Naruto melepaskan Hinata dari dekapannya karena wanita itu melepaskan rengkuhan lengannya.
Hinata kemudian menghela napas pelan dan tersenyum tulus ke arah pria itu. "Aku tahu kau tak akan begitu, kita akan punya bayi dan kau akan jadi Ayah, kau pasti tidak akan meninggalkan kami kan?"
Naruto menatap istrinya dengan perasaan berkecamuk. Dirinya mungkin siap mati untuk mengungkap kebenaran tapi dirinya lupa bahwa kematiannya mungkin akan menyakiti wanita itu dua kali.
Hinata kemudian melangkah keluar dari kamar mandi lebih dulu. "biarkan kekhawatiranku jadi tabu selamanya, jangan wujudkan jadi kenyataan."
Naruto masih termenung setelah mendengar ucapan istrinya. Rasanya seperti mendapatkan larangan dari rencana yang bahkan belum dia sampaikan pada wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
If It's Our Fault
FanfictionJika hanya untuk saling mengisi kekosongan, bukankah itu tak bisa disebut cinta? #Naruhina