Naruto mendudukan istrinya di tepi ranjang hotel tempat dirinya menginap semalam. Mereka harus bicara. "Duduklah."
Hinata duduk seperti apa yang diperintahkan pria itu. Dari raut pria itu yang nampak stress selepas kembali dari kantor polisi, Hinata tebak pria itu akan memarahinya karena pergi ke Hokkaido begitu saja.
Kaguya dan Toneri sudah diamankan oleh kepala kepolisian setempat selagi dilakukan pemeriksaan awal dan menunggu kedatangan anak buah Shikamaru ke Hokkaido untuk menjemput kembali ke Tokyo.
"Minumlah dulu." Naruto kembali membawakan sebotol air mineral yang sudah dibuka.
Hinata meneguknya sedikit kemudian meletakannya kembali di atas meja.
Naruto menghela napas berat sebelum dirinya menarik sebuah kursi dan duduk tepat di depan wanita itu dan meraih tangannya di atas pangkuan. "Kenapa pergi tanpa memberitahu?"
Hinata menatap wajah pria itu yang jelas nampak lelah. "Maaf."
"Jangan minta maaf, aku ingin tahu alasanmu." Naruto berujar tegas kali ini.
Hinata memejamkan mata dan mengangguk. "Aku ingin bicara dengan wanita itu."
"Kau tahu ini berbahaya, kenapa datang ke sini sendirian?" Naruto tidak bisa menahan diri untuk merasa khawatir sekaligus marah.
"Aku melihat kasus ini bukan seperti seorang penegak hukum sepertimu, aku hanya seorang anak yang kehilangan orangtuanya akibat keserakahan wanita itu. Aku hanya ingin tahu apa yang ada di kepalanya hingga membuat dia begitu keji pada tou-sama dan juga ibu." Hinata menahan air matanya, dia tidak marah pada Naruto karena menuntut jawaban itu, justru dirinya mengeluarkan segala keresahan di hatinya saat ini.
Naruto menggenggam tangan Hinata semakin erat. "Bicaralah padaku, jangan memendam segalanya sendirian."
"Aku takut, aku tidak ingin kau pergi seperti tou-sama dan juga ibu." Hinata selalu mengatakan hal yang sama secara berulang, soal ketakutannya. "Setelah semua yang terjadi, dia menyakitimu, aku dan juga Boruto, aku merasa sangat marah."
Naruto menatap amethyst istrinya yang berlinangan air mata saat bicara. Dia rasa ini saat yang tepat untuk dirinya diam dan mendengarkan isi hati wanita itu selama ini.
"Maaf aku tidak berkepala dingin saat mengambil keputusan dan selalu melarangmu, tapi itu semua karena aku benar-benar ketakutan." Hinata tidak akan mengatakan seperti apa rasanya ketakutan yang menghantuinya itu, tapi tertidur di malam hari rasanya tidak pernah tenang, melihat pria itu pergi bekerja rasanya selalu menakutkan, dan dirinya hidup dalam bayang mimpi buruk itu selama ini.
"Kita akan baik-baik saja, Hinata." Naruto menatap wajah wanita itu dengan tatapan lembut.
"Meski jutaan kali kau mengatakan itu, aku tetap ketakutan. Aku nyaris kehilanganmu dan Boruto." Hinata rasa itu adalah hal yang membuat dirinya benar-benar kehilangan kesabaran.
"Mereka berakhir hari ini, mereka akan mendekam di penjara selamanya." Naruto meyakini Hinata "tak akan ada lagi mimpi buruk itu."
Hinata menangis terisak sambil menatap wajah suaminya. "Bagaimana jika tidak?"
"Kau memiliki bukti kejahatan Kaguya, berikan pada kepolisian, kita hentikan semuanya hari ini." Naruto mengusap air mata di pipi Hinata dan mencoba meyakininya.
Hinata meraih tas tangan di sampingnya dan mengeluarkan sebuah kotak berisi belasan besi pipih dengan port USB. Dia menyelamatkan semua ini di hari kebakaran itu terjadi. Dirinya menyembunyikan bukti itu di sakunya karena dia tahu kebakaran pada saat itu juga adalah ulah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
If It's Our Fault
FanficJika hanya untuk saling mengisi kekosongan, bukankah itu tak bisa disebut cinta? #Naruhina