Mungkin tak ada calon mempelai pria di dunia ini yang pergi bekerja di satu hari sebelum hari pernikahannya kecuali Naruto. Tapi dia bisa apa, saat jadwal sidang sudah terlanjur dibuat dan dirinya hanya bisa menyisipkan satu hari di tengah hari sibuk itu untuk pernikahan.
Naruto menyampirkan jas kerjanya di lengan sofa kemudian meletakan tasnya di atas meja. Dia pergi ke kediaman Hinata sekembalinya dari kantor karena kata ibunya, hari ini wanita itu sedang kepayahan karena kandungannya.
Hinata tak menyambut kedatangan Naruto sore itu, karena hari ini kepalanya pening sekali dan dirinya bahkan merasa mual hanya karena menghirup aroma nasi.
"Sudah makan malam hm?" Naruto mengusap pipi Hinata. Wanita itu berbaring miring di atas sofa sambil memejamkan mata. Namun Naruto tahu wanita itu tak tertidur.
"Belum, aku merasa sangat mual." Meski Hinata menjawab pertanyaan itu, namun ia tetap memejamkan mata.
Naruto berlutut di samping sofa untuk memeriksa keadaan Hinata. "Kau ingin makan sesuatu atau ingin beristirahat di kamar?" Dia mengusap punggung wanita itu dengan lembut. Besok adalah hari pernikahan mereka, wanita itu harus sehat atau setidaknya sanggup berdiri di altar besok.
Hinata kemudian membuka mata dan mendapati Naruto ada di sampingnya. Beberapa minggu belakangan pria itu selalu datang padanya dalam keadaan sadar, tidak mabuk, sakit, atau kalut seperti biasanya untuk persiapan pernikahan. "Pulanglah ke apartmentmu malam ini."
"Aku ingin menjagamu." Naruto yakin ibunya pun sudah mulai mengerti. Mereka sudah mengurus pernikahan secara berkala, rencananya hanya acara privat untuk keluarga dekat saja dan pemberkatan di gereja. "Pernikahannya besok."
"Aku tahu." Hinata mengerti kalau pria itu khawatir dirinya sakit dan tidak bisa menghadiri upacara pernikahan, pria itu akan merasa malu di depan keluarga dan teman-teman dekatnya.
Naruto duduk di atas lantai di depan sofa sambil membelai pipi Hinata dengan lembut, entah kenapa hingga hari ini wanita itu masih selalu berprasangka buruk padanya, tak pernah percaya, padahal pernikahan sudah di depan mata.
Satu hal yang membuat Naruto sangat khawatir, bagaimana jika selamanya Hinata akan tetap begini? Pernikahan mereka nanti mungkin akan terasa sulit untuk dijalani. "katakan semua kesalahanku di masa lalu yang membuatmu sangat marah dan kecewa." Pintanya pada Hinata.
Hinata menatap mata biru pria itu dan menggeleng. "Tidak ada."
"Kenapa kau tak pernah percaya padaku?" Naruto berujar di hadapan Hinata. "Aku sangat mencintaimu, Hinata."
"Bukankah pernikahan ini hanya karena aku tengah mengandung?" Hinata balas bertanya. "Aku tak menginginkan cinta dari perasaan bersalah serta penyesalan."
Naruto kini berhadapan dengan wanita itu dan bicara empat mata. "Ada atau tidak ada bayinya, aku tetap ingin menikah denganmu."
Hinata tak ingin terus melontarkan keraguan, maka dia akan bertanya "seberapa lama akan bertahan, apa setelah bayinya lahir kau ingin berpisah?"
"Tak ada perceraian, aku hanya akan menikah satu kali seumur hidup." Naruto berujar pasti, membantah ucapan Hinata.
Hinata tersenyum pahit setelah itu. "Maaf, karenaku kau jadi tidak punya pilihan."
"Memang hanya kau satu-satunya yang kuinginkan Hinata." Naruto berujar lembut.
"Bagaimana jika aku yang ingin berpisah?" Hinata kembali bertanya.
"Akan ada bayi ke dua, ke tiga, dan seterusnya sampai kau tak punya waktu untuk melarikan diri." Naruto ingin Hinata tahu bahwa dirinya tak membual.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
If It's Our Fault
FanfictionJika hanya untuk saling mengisi kekosongan, bukankah itu tak bisa disebut cinta? #Naruhina