14. Endless Love Tattoo

228 28 2
                                    

Sakura tersenyum manis pada foto yang sengaja dia letakkan pada bingkai lecil di meja kerjanya. Tangan lentik wanita merah jambu itu mengelus gambar senyum pria yang ada di sana.

"Kuharap ini benar-benar yang terakhir. Aku hanya ingin bersamamu tanpa merasakan sakit lagi."

Bisikan itu sepintas terdengar begitu menyayat hati sebelum wanita itu mengubah gesturnya ketika ada seseorang yang mengetuk pintu ruang kerjanya.

"Sakura-sama, semuanya sudah siap."

"Sungguh?"

"Ya. Kami pastikan semuanya sudah sesuai dengan instruksi anda."

Sakura mengangguk datar. Wanita merah jambu itu menghisap cerutu sekali lagi sebelum mengalihkan pandangan pada jendela yang terbuka begitu lebar. "Aku akan bersiap. Mari kita akhiri drama konyol ini."

.

.

.

.

.

"Apa yang kau pikirkan, Hinata?" tanya Sasuke lembut sembari mengelus pundak sang istri.

Hinata menghembuskan napas lelah sebelum berbalik menghadap Sasuke. Tangan wanita itu mengelus lembut kulit di mana tempat "tanda lahir" suaminya berada. Sesuatu yang akhirnya mereka kenali sebagai "endless love tattoo" yang mengikat mereka dalam tujuh kehidupan.

"Aku berpikir untuk ... membuat janji kembali Sasuke."

"Janji? Janji apa?" tanya Sasuke tak mengerti.

Alih-alih menjawab, Hinata malah mengecup "tanda lahir" suaminya itu dengan air mata yang kembali berderai. Tangan wanita itu gemetar membelai dada sang suami. Tak mampu membendung tangis.

"Aku bodoh tapi aku tidak sanggup kehilanganmu, Sasuke. Aku ingin bersamamu. Kepalaku sakit memikirkan banyak hal. Aku ..."

"Ssst..."

"Aku egois. Boleh, kan? Aku ..."

"Hinata, tenanglah."

Sasuke merasakan bahu istrinya bergetar dengan hebat. Seolah tidak ada kebahagiaan yang bisa diraih olehnya. Segala kesedihan tumpah dengan hebat. Hinata sendiri terlihat begitu rapuh saat ini. Seolah sosok yang kini duduk di hadapannya bukanlah sosok dirinya.

 "Huek!"

Wanita itu terus memuntahkan makan malamnya. Membuat Sasuke yang semula memeluknya terkejut setengah mati. Pria itu tidak jijik. Justru menampilkan wajah khawatir sembari mencari benda yang bisa digunakan untuk menampung muntahan Hinata. Wanita itu sampai menangis merasakan isi perutnya terpompa keluar dan lidahnya mendadak terasa pahit luar biasa.

"Sayang, kau tidak apa-apa?" tanya pria itu cemas ketika Hinata justru menangis hebat setelahnya.

"Hinata ... Sayang ..."

Panggilan bernada lembut itu membuat Hinata menangis lebih banyak. Sembari terisak, wanita itu berusaha membersihkan tubuh suaminya dari bekas muntahannya. 

"Hei, jangan menangis, Hinata. Aku tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja. "

"Aku membuat tubuhmu kotor. Aku ..."

"Sudah, kau sedang tidak enak badan."

"Aku benar-benar ..."

"Kita mandi bersama kalau begitu? Aku siapkan air mandinya jadi kau juga bisa sekalian membersihkan diri."

Hinata mengangguk masih dengan air mata yang membanjiri kedua pipinya. "Aku minta maaf."

"Aku tidak mempermasalahkan apa yang menggelisahkanmu. Tapi ... Apapun yang kau mau, aku akan membawakannya padamu. Jangan takut dan ingin menangis. Hm?"

The House Of ColorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang