Hinata menatap nanar pada jasad Ino dan Tenten yang sudah tergeletak di hall. Suara tangisan Neji dan Sai terdengar memenuhi ruangan. Lilin-lilin menyala terang seolah menyemarakkan suasana. Walau sejatinya saat ini mereka tengah menikmati duka.
Sakura berdiri dengan tenang di posisinya. Tidak memiliki ekspresi apapun seolah hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan baginya. Wanita itu bahkan masih sempat menghisap cerutunya ketika Sai meneriakkan kemarahannya karena Sakura seolah 'tidak berbuat apa-apa' dengan tragedi siang tadi. Sakura juga tidak terlihat terluka walau 'gadisnya' terluka hingga kehilangan nyawa.
"Setiap hidup pasti mengalami kematian, Tuan Sai. Kau berharap aku akan melakukan apa dengan semua itu? Kau sendiri juga sudah memiliki ingatanmu kalau kau akan kehilangan Ino di tahun ini. Lalu apa yang harus kulakukan akan itu? Kau berharap aku akan mengubah takdir?"
"Kau seharusnya bisa! Kau memiliki kemampuan untuk itu!"
"Dan mengorbankan hidup yang lain hanya karena mempertahankan Ino di sini? Mengubah takdir selalu memiliki konsekuensi yang berantai. Kau pasti ingat terakhir kali kalian ingin mengubah takdir, kau dan Ino harus menanggung kesakitan di setiap kehidupan lainnya hingga membuatmu seperti ini. Kau ingin menemaniku selamanya di kehidupan ini dengan melihat Ino mati lagi dan lagi?"
Kalimat itu seketika membungkam Sai yang hendak menyalahkan takdir lebih banyak. Walau masih ada air mata yang mengalir di pipinya, Sai tidak lagi protes. Pria itu memilih merengkuh Ino dalam pelukannya walau sesekali isakan keluar tanpa bisa ia tahan.
"Kau akan baik-baik saja setelah ini, Ino. Jika ada kesempatan di tempat berikutnya, aku bersumpah aku akan menemukanmu dan kita akan bersama. Kita akan menikah. Aku akan mewujudkan mimpimu untuk mendapatkan pernikahan yang indah dan kehidupan yang layak. Hanya tunggu aku. Hm?"
Hinata bisa melihat Sai mengecup dahi Ino sembari mengucapkan betapa pria itu mencintai Ino dengan amat sangat. Hal yang mematahkan hatinya hingga berkeping-keping. Tapi segala kedukaan itu masih belum cukup mengejutkan karena detik berikutnya, Sakura justru langsung menutup pintu kediamannya rapat-rapat. Wanita itu tidak mengatakan apa-apa dan segera meminta semua pegawainya turun ke tempat persembunyiannya sebelum suara debaman kuat menghantam gerbang kediamannya.
Suasana benar-benar berubah menjadi tidak kondusif. Hal yang benar-benar di luar dugaan karena Hinata kira, hal terakhir yang tidak menyenangkan yang dia hadapi hari ini.
Semuanya seketika menjadi mencekam ketika derap langkah banyak sekali pria datang mendekat. Hinata sudah bersiap dengan kunai yang sejak tadi dia genggam sebagai pertahanan diri ketika melihat rombongan itu menampakkan diri di hadapannya.
Kedua netranya terbelalak ketika melihat ada Sasuke juga di sana. Pria itu dengan senapan yang dibawanya membuat kaki Hinata lemas seketika. Pria itu juga berwajah gusar seolah sedang berperang dengan hati ketika melihat Sakura justru tersenyum mengejek ke arahnya.
"Apa yang dilakukan Uchiha-san dan tentaranya di sini? Kami sedang tutup karena kebetulan kami semua sedang berduka."
"Kami ingin menyelidiki beberapa peristiwa yang tidak wajar di sini. Bisa jelaskan pada kami tanpa berbelit-belit, Madamoiselle Sakura?" tanya Sasuke dengan suara yang dalam dan dingin di saat yang bersamaan. Siapapun yang mendengarkan suara pria itu pasti akan membenarkan jika Sasuke dalam keadaan yang benar-benar marah.
"Kau ingin memeriksa banyak hal sekalian? Ck, ck, ck. Sangat tidak menghargai kedukaan yang dirasakan keluarga kecil kami."
"Jangan mengulur waktu."
"Aiyoo ... Aku sedang tidak mengulur waktu. Kalau kau memang ingin berbicara, kalian bisa di ruanganku. Dan kalau kau ingin menggeledah, lakukan saja. Aku hanya tidak ingin membuat keributan dan membuat orang lain yang sedang berduka terusik."
KAMU SEDANG MEMBACA
The House Of Colors
Fanfiction"Reinkarnasi? Siapa yang akan percaya dengan hal itu? itu hanyalah karangan konyol orang-orang di masa lalu. bagaimana bisa seorang manusia mendapatkan masa lalu yang buruk dan mampu memperbaikinya di masa depan? Bukankah jika demikian, kita bisa be...