4. Harder, Daddy!

4.3K 222 25
                                    

Bahkan tanpa menerima panggilan tersebut, Rino sudah tau Jeo akan mengatakan apa. Walaupun begitu, Rino tetap memutuskan menerimanya.

"Ya, Jeo?" sapa Rino sembari duduk di pinggir ranjang.

"Kakak, apa kabar? Sehat kan?" Jeo menyapa balik.

"Kakak baik," sahut Rino. "Kamu bagaimana? Ibu?"

"Aku juga baik, Kak." Ada jeda beberapa saat sebelum Jeo kembali melanjutkan, "Tentang Ibu, justru itu aku mau bicara sedikit dengan Kakak."

Deg!

Rino langsung merasa jantungnya seolah berhenti berdetak untuk beberapa saat. Ditariknya napas sebelum berkata, "Kenapa dengan Ibu, Jeo?"

"Penyakit Ibu kambuh, Kak. Aku mau bawa Ibu periksa ke dokter, tapi uang simpanan Ibu sudah habis. Uang tabunganku juga. Sementara, sanak saudara yang lain kayak enggan membantu." Kali ini, suara Jeo terdengar sedih. "Ibu bilang, jangan sampai Kakak tau. Tapi, kita nggak ada yang tau gimana ke depannya kan? Makanya aku bilang ini ke Kakak."

Rino tanpa sadar meremas paha sendiri. Kepalanya mulai terasa sedikit pening. "Berapa butuh uangnya, Jeo?"

"Kakak, aku nggak minta uang. Aku cuma mau ngasih tau Kakak tentang kondisi Ibu. Kalau Kakak ngasih uang buat Ibu berobat atau untuk keperluan rumah, sudah pasti Ibu bakal marah sama aku karena ngasih tau Kakak."

"Jeo, kamu bisa cari alasan kalau memang nggak mau ketahuan Ibu." Rino menampik alasan yang dilontarkan adiknya tersebut. "Berapa? Itu pertanyaan Kakak."

Jeo terdiam sejenak. Lalu, "Cukup besar, Kak."

"Berapa?"

Jeo lantas mengucapkan sejumlah nominal. "Dua juta, Kak."

Rino bahkan sampai menarik napas panjang dibuatnya.

Benar. Itu nominal yang besar, tapi masuk akal mengingat penyakit Ibu mereka.

Rino mengusap wajah, berpikir sejenak. Jujur, dia buntu sekarang. Tidak bisa memikirkan apa pun. Di kepalanya, terbayang wajah sang Ibu yang sakit-sakitan. Juga, Jeo yang pasti merawat Ibu di sana.

Debasan napas terdengar sesak dari Rino. "Nanti Kakak carikan uangnya, ya? Buat sementara, kamu rawat Ibu dulu."

"Kakak—"

"Jeo, Kakak lagi capek sekarang. Nurut dengan yang Kakak bilang. Ya?" potong Rino cepat.

Jeo terdengar pasrah. "Iya, Kak."

Setelahnya, Rino menutup panggilan di antara mereka.

Rino segera berbaring di ranjang, menatap langit-langit. Begitu mengalihkan pandangan, yang dilihat Rino dalam keadaan kamar yang tengah minim cahaya adalah Jian. Cowok itu tampak tidur pulas dan nyenyak sekali.

Yah, Rino harap Jian tidak bertingkah aneh-aneh besok dan seterusnya. Sudah cukup Rino pusing dengan ekonomi, tak perlu ditambah dengan Jian.

Tanla sadar, Rino bangun dan mendekati Jian. Cowok itu duduk di tepi ranjang Jian. Sebelah tangannya terulur mengelus pipi gembil Jian menggunakan telunjuk. Melalui ujung mata, Rino melirik makanan yang dibelikan Jian untuknya.

Satu senyum terukir lagi di wajah Rino. "Tidur nyenyak, Jian."

Tepat saat Rino hendak berdiri, Jian berbalik ke sisi lain dan membelakangi Rino. Bersamaan dengan selimut yang sempat menutupi tubuh Jian terjatuh begitu saja dari badan si bersangkutan.

Meski minim cahaya, Rino masih bisa melihat apa yang tersaji di depannya.

Jian ... tidak sepenuhnya telanjang kali ini. Mungkin bisa dibilang semi telanjang. Karena,

Jian mengenakan lingerie tipis berwarna pink, rok super pendek, serta stocking tipis membalut kedua kaki jenjangnya.

Belum habis rasa syok Rino, dia kembali dikagetkan dengan apa yang dilakukan Jian setelahnya.

Jian seperti mengigau. Sleep talking. "Ungh ... Kak Rino— harder. Fuck me harder, Daddy."












roommate; minsung 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang