9.

2.5K 155 5
                                    

Seorang remaja baru saja terbangun dari tidur panjangnya, netranya menyapu sekitar yang lagi-lagi hanya ruangan bernuansa putih dengan bau obat yang mendominasi. Tubuhnya terasa kaku seakan sudah lama tak ada pergerakan, menghela nafas pelan mengetahui ia berada di tempat yang sudah 3 bulan lamanya tak pernah ia kunjungi lagi dan sekarang ia berada disini kembali.

Ruangan terasa sunyi karena hanya ia seorang yang berada didalam ruangan, selain rasa kaku yang ia rasakan, dirinya juga merasa nyeri hampir diseluruh tubuhnya.

"mengapa takdir hidupku seperti ini? Apakah aku memang tak layak hidup sebagaimana anak seusiaku menjalani hidup?" pertanyaan itu selalu ia lontarkan setiap kali terbangun diruangan putih dengan keadaan sepi ini.

"mengapa harus sesakit ini untuk terus bertahan jikalau memang aku sudah tak cukup layak untuk terus bertahan biarlah aku pergi agar tiada lagi sakit yang terasa seperti ini." sambung afgan menatap langit-langit ruangan yang sama berwarna putih dengan setetes air mata yang melewati pipi pucatnya.

Cklekk...

Pintu terbuka menampilkan deka yang masuk dengan snelly yang melekat ditubuh tegapnya, wajahnya yang rupawan menjadi nilai tambahan namun wajah itu tak terlihat bersinar seperti biasanya seakan ada awan mendung yang mengelilingi tubuhnya.

"kak deka." panggil afgan kearah kakaknya yang terdiam ditengah pintu menatap kearahnya dengan tatapan yang menyiratkan kesedihan yang mendalam.

"iya baby, apakah kau sudah lama bangun hmm?" balas deka menghampiri adik tengahnya yang tengah menatap kearahnya dengan senyum lebarnya namun bekas aliran air mata masih melekat dipipi pucat itu.

"tidak, aku baru saja terbangun. Kakak kenapa sedih?"

Afgan tau ini pasti berkaitan dengan kondisi tubuhnya yang mungkin saja semakin memburuk atau... Entahlah ia tak tau yang pasti.

"kakak tidak sedih justru seharusnya kakak yang bertanya kenapa kamu menangis?"

Afgan terpaku, ia lupa mengusap air matanya tadi karena tubuhnya yang kaku membuat pergerakan tubuhnya terbatas. Seulas senyum tipis terbit dibibirnya mencoba menghalau cemas yang melekat dimata kakaknya, sungguh ia tak suka ketika orang yang ia sayang bersedih karenanya.

"kakak aku tidak menangis tau, aku kan laki-laki strong mana mungkin menangis!" seruan afgan membuat deka tersenyum tipis menghadapi sikap sok kuat adik tengahnya, ia sangat tau adiknya itu tersiksa dengan segala sesuatu yang mereka semua lakukan namun lagi-lagi mereka harus egois demi kebaikan si kecil.

"baiklah karena adik kakak ini kuat, mau makan sekarang?" deka mengambil semangkuk bubur yang terletak disamping brangkar diatas nakas.

Afgan hanya mengangguk kecil menanggapi pertanyaan kakaknya, ia sudah lapar meskipun tubuhnya sakit dan kaku untuk digerakkan. Bibirnya tersenyum ketika kakaknya begitu peka dan perhatian atas kesulitannya.

"sekarang buka mulutnya, a~."

Deka menyuapi afgan dengan telaten sembari sesekali membersihkan noda bubur disudut bibir adiknya yang makan dengan lahap, setelah memberi obat ia menunggu adiknya tertidur kemudian berlalu pergi meninggalkan afgan yang kembali terlelap menyelami mimpi.

Setelah pintu ditutup deka, netra dari beberapa orang tertuju kearahnya dengan berbagai ekspresi sedih mereka, sungguh mereka berharap lebih dan biarkan mereka egois mempertahankan putra kesayangan mereka untuk tetap bertahan meski harus membiarkan si kecil merasakan sakit yang teramat sangat akibatnya.

Arka menghela nafas lirih, ia sangat merasa ketakutan ketika setiap kali netra indah kakaknya terpejam. Sungguh ia benar-benar takut tubuh itu menyerah dan tak membiarkan netra indah itu kembali terbuka.

"kita hanya bisa berdoa semoga baby diberikan kesembuhan." ucapan deka membuat atmosfer semakin memberat, tak ada yang berniat membuka suara dilorong sunyi.

"berapa lama lagi kami harus menunggu agar ia bisa sembuh total? Bahkan setiap kali dia berada diruangan ini kondisinya semakin melemah!" tekan raka menyampaikan isi hatinya yang selama ini ia tutupi, ia sama takutnya dengan saudaranya yang lain.

"kakak tidak tau raka, yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa agar Tuhan memberi belas kasihannya untuk membiarkan afgan lebih lama bersama kita."

Hani menangis histeris dipelukan suaminya, ia tak sanggup setiap kali mendengar kabar buruk mengenai putra tengahnya. Ia merasa menjadi ibu yang buruk untuk afgan karena membiarkan putranya kesakitan, jikalau bisa ia ingin meminta pada Tuhan untuk menggantikan rasa sakit yang diderita putranya.

"ba.. Baby kita mas-" ucapan hani terpotong dengan pelukan yang semakin erat dari suaminya seolah tengah menyalurkan energinya kepada sang istri agar lebih kuat menghadapi cobaan meskipun sebenarnya ia juga merasakan kekalutan yang sama.

"jangan berpikiran yang buruk, baby pasti akan segera sembuh. Kita hanya harus memberikannya banyak dukungan dan lebih ketat menjaganya."

Mereka semua mengangguk setuju, ini semua demi kebaikan afgan bukan? Atau justru demi keegoisan mereka sendiri?

.
.
.
.
.
.
TBC

Hallo semuanya, gimana kabarnya? Baik lah ya!

Oh iya aku mau nanya kalian lebih suka part yang panjang atau cukup seperti ini? Kasih saran ya!

Oh iya aku juga akan berusaha untuk sesering mungkin publish part lanjutannya.

Jangan lupa vote dan comment.

Papay

AfganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang