4. Diserbu Melankolia

4.8K 749 142
                                    

"Sakit, Hangat!" Alvela yang saat itu berusia 16 tahun memekik saat Hangat berusaha membersihkan luka di punggungnya dengan cairan alkohol. Kedua remaja belia itu bersembunyi di balik tanaman di kebun belakang sekolah.

Ada anak-anak Botany Club yang rajin sekali menanam tanaman dan berbagai macam pohon buah. Beruntungnya, entah anak Botany Club angkatan tahun berapa yang berhasil menanam boxwood hingga kini berderet rapi membentuk labirin mini setinggi dada orang dewasa.

"Ini namanya KDRT, Vela." Hangat berkata dengan teduh. Meringis ia melihat luka di sekujur tubuh sang sahabat.

"Kenapa, ya, hidup aku jadi kayak gini?" Alvela menghela napas, masih memekik kesakitan setiap kali tangan Hangat menyentuh lukanya.

"Harusnya mama kamu ambil tindakan, Vela. Anak sendiri dipukulin sama papanya masa mama kamu diam-diam aja? Lapor polisi gitu, loh. Atau apa, lah. Cerai atau gimana gitu."

Tidak semudah itu. Alvela mendengkus. "Hangat, mamaku itu sakit parah. Selama ini dia tahu papa kelakuannya kurang ajar banget di luar sana. Tapi demi aku, mama diam. Sekarang, merasa udah nggak ada yang perlu ditutupi, papa jadi seenak sendiri memperlakukan aku kayak gini. Kalau cerai pun kasihan mama. Papa aneh. Dia bilang dia cinta mati sama mama, tapi ternyata diam-diam dia selingkuh sama banyak cewek! Capek banget kalau boleh jujur, Hangat. Capek."

Alvela murung, namun tidak menangis.

Namun mendung itu justru menggelayuti mata Hangat. Gadis itu perlahan terisak, menangis meratapi nasib hidup sang sahabat. "Alvela, sabar, ya. Kamu jangan nyerah, kalau ada apa-apa, kamu harus kasih tahu aku. Aku bakalan bantuin kamu, Vela. Aku bakalan selalu ada buat kamu."

Alvela terdiam mematung. Gadis itu berdeham sejenak, lalu membalikkan badan sambil membenarkan kemeja sekolah yang sedari tadi ia naikkan ke atas agar Hangat bisa leluasa mengobati. Satu per satu kancing ia kembali kaitkan.

Kemudian ia menatap wajah layu Hangat. "Kamu kenapa nangis?"

Hangat terisak. Ia menggelengkan kepala. Namun saat ia bertatapan dengan Alvela, rasa sakitnya justru menjadi luar biasa.

"Hangat, kamu kenapa nangis?"

"Kamu sakit, Alvela. Aku jadi ikut sakit. Aku nggak bisa lihat kamu kayak gini. Cukup aku aja yang punya papa nggak bener. Kamu harusnya jangan. Kamu harusnya benar-benar punya hidup yang sempurna."

Alvela kini juga ikut merasa diserbu melankolia. Ia kira, ia selamanya akan hidup sebagai putri kerajaan yang dibangun dan dididik oleh ayahnya. Namun ternyata, sang raja tidak mengharapkan seorang putri yang bodoh seperti dirinya.

"Sekarang, kita harus sama-sama terus, Alvela. Aku akan berusaha nyembuhin kamu. Dan kamu harus selalu jadi sinar buat aku. Aku akan berusaha terus hidup dan kamu juga harus janji agar nggak pernah redup. Ya?" Hangat mengusap wajah, menghalau air matanya. Kemudian tersenyum penuh arti seraya menatap Alvela.

"Aku cuma punya kamu, Hangat."

"Iya, aku juga cuma punya kamu, Alvela."

Kedua gadis itu kini beradu pandang, saling mengirim kode kesakitan. Berbagi derita tentang kehidupan yang jauh dari angan-angan.

Entah siapa yang memulai, entah datang dari mana rasa nyaman itu, tiba-tiba Alvela merasa tak bisa bila tak ada Hangat. Begitu juga dengan Hangat yang merasa tersiksa bila tak ada Alvela.

Labirin boxwood itu menjadi saksi hari demi hari, selangkah demi selangkah dari kumpulan arah yang keliru. Ditatap Bintang dari kejauhan, Hangat dan Alvela tak peduli. Kedua remaja itu hanya ingin lupa tentang rumah penuh neraka.

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang