Berawal dari musuh, kini bahkan bagai triplet yang tidak bisa dipisahkan. Awalnya ragu, tapi lama-lama jadi biasa saja.
Bhara mulai terbiasa dengan keberadaan Praha yang sok jaim dan Hazel yang berisik di sekelilingnya.
Jujur saja, ada haru yang sedikit terselip, ini kali pertama ia memiliki teman yang terasa sebegitu dekatnya. Teman Bhara memang banyak, tapi tak pernah semenempel Hazel dan Praha.
"Sebenernya, kalau kita mau biasa lagi aja kayak dulu juga nggak apa-apa, sih," kata Bhara sore itu. Mereka habis bermain futsal di GOR sekolah.
Meski tangan Praha masih belum sepenuhnya sembuh, namun remaja itu mulai aktif lagi. Kini bahkan, ketiganya sedang duduk di pinggir lapangan dengan peluh yang menetes begitu deras.
"Papaku juga nggak akan ngusik kerjaan papa kamu, Pra. Om Tama udah jadi dokternya papa sejak lama banget. Masa mau disingkirin gara-gara ulah kamu doang." Bhara meminum air putihnya.
"Dipikir-pikir, kita akur gini juga oke-oke aja, sih, Bhar." Praha menoleh menatap Bhara yang kini sedang balik memandang dengan penuh curiga.
"Kalian terpaksa deket sama aku gara-gara hukuman dari Pak Yaffi, kan?"
Hazel mendengkus. Lantas tangannya bergerak, memukul belakang kepala Bhara dengan kesal. "Ya, kamu pikir kita bisa deket gini gara-gara apa?"
Bhara mengaduh, matanya kini menatap tajam kepada Hazel. Kesal sekali. Anak itu ringan tangan! Tapi mulutnya sengit. Kalau dipikir-pikir, kalau lihat Hazel, Bhara jadi ingat mamanya. Agak ada mirip-miripnya. Jutek, jail, sinis, agak kasar.
Sementara itu dia adalah anak yang baik, santun, kalem, dan lemah lembut.
Semoga ia dan Hazel bukan anak yang tertukar!
"Hazel, nggak boleh, lho, pukul-pukul gini! Otakku ini aset berharga Gajah Mada Integrated! Kalau aku gegar otak siapa yang mau ngelanjutin usaha papa?"
"Kan, ada adek kamu." Kali ini Praha ikut usil, lantas berdiri secepat kilat dan berlari menuju ruang ganti.
Disusul oleh Hazel yang pergi setelah menjulurkan lidah ke arah Bhara.
Kesal minta ampun, Bhara berdiri dengan menghentak kaki. Ia segera memungut barang bawaannya. Lalu berjalan ke luar GOR dengan tampang letih, lemah, dan lesu.
Bhara lapar!
"Bhar, sini!"
Kepala Bhara celingukan saat tiba di area parkir. Jangan berpikir Bhara ke sekolah naik mobil atau motor sendiri. Tentu tidak, Bhara dijemput sopir!
Tapi kali ini, sopirnya belum datang. Jengkelnya level Pluto sekarang.
Dari jarak beberapa meter, Yaffi melambaikan tangan sambil tersenyum. Bhara pun balas tersenyum, lalu berlari kecil untuk mendekat.
"Pak Yaffi belum pulang?"
Yaffi menggeleng, ia baru saja keluar dari gedung utama saat melihat Bhara berjalan sendirian dengan tampang lusuhnya.
"Kamu habis ngapain, ekskul?"
Bhara mengangguk. "Futsal, Pak. Keren, kan, aku?"
Yaffi dengan wibawanya tersenyum kecil, mengacak rambut Bhara sekilas. "Keren, dong! Selama yang kamu lakukan adalah hal baik, kamu akan selalu keren, Bhar."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEHANGAT DIPELUK RAGA
RomanceBarangkali, rumah tangga Alvela dan Raga adalah satu-satunya yang aneh di dunia. Raga yang fakir cinta. Dan Alvela yang mengerti cinta namun berada di jalur berbeda. Alvela masih berpikir, sebagai seorang penyuka sesama jenis, ia mungkin tak akan...