Yaffi menghela napas, menatap Hangat yang terduduk lesu di lantai setelah menenggak beberapa botol bir sebagai pelipur lara. Sementara dari bilik kamar lain, terdengar suara gaduh anak-anak bermain dengan ponsel masing-masing.
"Kamu selalu mabuk meski ada anak-anak di sekitar kamu?" Yaffi bersuara. Guru BK itu berdiri merebut botol yang baru saja Hangat buka.
Setengah sadar, Hangat mendengkus tak suka. Ia menatap Yaffi dengan geram. "Jangan ikut campur dan ngatur-ngatur aku, Fi."
"Hangat, kita pernah jadi anak-anak yang nggak bahagia dulu, setelah kejadian Alvela keguguran, kita berempat janji, kan, bahwa segala sedih yang kita rasa nggak akan kita wariskan ke anak-anak?"
Hangat tertawa sinis. Ia berdiri, berjalan dengan sedikit sempoyongan menuju kulkas di dapur. Lalu meminum air dingin langsung dari botolnya dengan rakus. Matanya kemudian berpendar, menatap langit Jakarta yang gelap dan gerimis di luar sana. Juga gemerlap malam yang bisa ia pandang lewat balkon apartemennya.
"Ngerti apa kamu soal anak-anak, Fi?" Hangat tertawa lagi, lalu kembali berjalan ke arah ruang keluarga. Duduk di sofa, di samping Yaffi. Lalu menaikkan kedua kakinya dan meringkuk dengan nestapa.
Yaffi mengamati Hangat dengan begitu iba. Pria itu masih tak percaya bahwa ayah dari Alvela benar-benar tak segan merusak hidup orang lain hingga sedemikian rupa.
"Paling nggak, jangan kasih mereka contoh yang nggak bener. Yang terpenting, apa kamu bisa jamin masih bisa berpikir jernih saat mabuk. Apa kamu pernah mikir bahwa kamu bisa aja melukai mereka saat kamu mabuk kayak gini, Hangat?"
Hangat terdiam. Tentu saja pernah, ia pernah nyaris melempar salah satu anaknya ke luar balkon. Beruntung, Yaffi tiba-tiba datang, masuk ke apartemennya dan menggagalkan rencananya membunuh Ammar meski tak disengaja.
Sejak saat itu, sejak 3 tahun yang lalu, Yaffi membawa Ammar pergi. Menitipkannya di Home of Alexandria demi kebaikan Ammar.
Bocah kecil itu bahkan dengan gembira berpisah dengan ibu kandungnya, dan menganggap Yaffi sebagai ayah yang selalu ia idam-idamkan. Ammar, adalah satu-satunya anak laki-laki dari Hangat dan suami tua bangkanya.
Istri pertama suami itu hidup penuh pengakuan dengan glamor dan elegan bersama satu anak perempuan yang kini sudah bekerja sebagai dokter bedah di Singapur.
Sementara dari istri kedua, pria itu mempunyai 3 anak. Satu perempuan dua laki-laki. Namun, sayang. Satu anak laki-lakinya meninggal karena kecelakaan. Sementara anak laki-laki yang tersisa sakit-sakitan, penyakitan, sekarat.
Hangat sebagai istri ketiga melahirkan 4 anak, sialnya ... anak ketiganya adalah Ammar, anak laki-laki, sehat wal'afiat, dan sudah diincar agar bisa mewarisi pekerjaan bedebah milik sang ayah ... bandar judi dan narkoba.
Tentu saja, Hangat lebih baik melihat Ammar mati ketimbang harus hidup tapi mengikuti jejak ayah kandungnya.
"Kamu harus tetap waras. Demi anak-anak. Jangan berpikir kamu sendirian, hubungi aku kalau kamu butuh bantuan." Yaffi kembali bersuara.
Sejak bertemu lagi dengan Hangat tiga tahun lalu di depan Home of Alexandria, Yaffi memang menaruh iba yang begitu mendalam atas kehidupan yang Hangat jalani. Menjadi istri ketiga, disembunyikan, dimanfaatkan hanya untuk nafsu duniawi, dianugerahi lima anak yang malah disebut beban oleh Hangat.
Yaffi benar-benar mengutuk perbuatan Veda yang dengan tega mengirim Hangat ke tua bangka si bandar judi dan narkoba.
"Kenapa orang jahat matinya lama, ya, Fi?" Hangat berkata lirih. Ia menundukan wajah, menutupnya dengan kedua tangan. "Bokapnya Alvela sekalinya mati, matinya lagi ngeseks. Enak di dia, dong?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SEHANGAT DIPELUK RAGA
RomanceBarangkali, rumah tangga Alvela dan Raga adalah satu-satunya yang aneh di dunia. Raga yang fakir cinta. Dan Alvela yang mengerti cinta namun berada di jalur berbeda. Alvela masih berpikir, sebagai seorang penyuka sesama jenis, ia mungkin tak akan...