12. Berperang Dalam Senyap

4.1K 847 84
                                    

Bhara menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa bingung kenapa formasi bangku di kelasnya jadi berubah.

Sadar diri dia tuli, Bhara selalu menempatkan diri untuk duduk di baris depan. Tepat di depan papan tulis. Satu meja, satu kursi. Biasanya di samping kanan ada Ishaan, si cowok blasteran India-Sunda. Sebelah kiri ada Mirrea, nona ayu hasil pertempuran Jepang dan Semarang.

Bhara celingukan, lalu tertegun saat Mirrea melambai dari bangku belakang dan meringis ke arahnya. "Bhara, ohayou!"

Bhara melotot. Mirrea, why! Why, kamu pindah tempat duduk? Kamu adalah partner terbaik untuk dipinjami pulpen!

Sementara itu sebuah tangan menjulur, meraih celana Bhara dan menariknya agar Bhara cepat-cepat duduk. Bhara menghela napas. Menatap Praha dengan malas.

"Aneh banget kalian berdua." Bhara mendengkus, lalu secara rusuh duduk sambil banting-banting buku. "Please, dong, ya. Jangan cari-cari masalah lagi sama aku."

Praha diam tak menanggapi, sementara di sisi kiri Bhara, ada Hazeldico Varavoga yang kini mencibir sambil melempar Bhara dengan gulungan kertas. "Suujon amat, sih, jadi orang. Orang aku sama Praha nggak ngapa-ngapain."

Bhara mengernyit lalu mencondongkan tubuh ke arah Hazel. "Emang kamu tahu suudzon itu apa?"

Praha terkekeh kecil. Cowok ganteng dan sok dingin itu tak ingin kelihatan receh. Tapi sejak ada masalah dengan Bhara, rasanya ia mengalami penurunan selera humor.

Hazel melotot.

"Suudzon, Hazel. Bukan suujon." Bhara menyeringai. "Ayo, belajar Islam sama aku. Siapa tahu kamu jadi mualaf."

Teman-teman sekelas yang tidak sengaja mendengar spontan terkikik bersama mendengar apa kata Bhara.

Sementara itu Hazel seperti biasa mengepalkan tangan. Bhara, adalah musuh bebuyutan yang kini berubah jadi beban!

Gara-gara Praha mengajak berantem, akhirnya ia jadi terbawa-bawa dan harus menerima hukuman yang sama. Yaitu, akur bertiga.

"Jangan marah. Biasa aja, dong! Serem banget itu mata kerjaannya melotot mulu." Bhara mengibaskan tangan, lalu balik badan dan duduk lurus ke depan.

Tak lama, seorang guru matematika muncul di kelas. Pelajaran dimulai dengan kata pengantar bahasa Inggris. Sekolah Bhara yang menggunakan Kurikulum Cambridge, sangat pas untuk Bhara yang suka bicara dan berpikir kritis.

Bhara suka sekolah ini meskipun ada Praha dan Hazel. Memang, terkadang ada yang kepo dengan kehidupan pribadinya. Bahkan ada anak yang suka titip-titip kado untuk mamanya. Tapi sejauh ini, Bhara nyaman ada di sana.

Beberapa mata pelajaran dilalui, tiba saatnya istirahat, Bhara beranjak untuk menuju kafetaria. Namun lagi-lagi, Praha dan Hazel membuntuti di belakangnya.

Bhara bergidik ngeri.

Ia melesat menuju salah satu counter, lalu mengambil nampan dan bergeser di depan etalase-etalase yang dijaga oleh para nutrionis sekolah. "Sphagetti, please. Ah, I want ebi furai too. Three pieces, ya, Miss. And, give me vanilla milk, please."

Nutrisionis yang hafal dengan Bhara pun tersenyum dan mengangguk. Sambil menyediakan pesanan Bhara, ia bertanya, "Mama kapan comeback, Bhara?"

"Em, kayaknya nggak akan comeback, Miss. Papa won't let her shine in front of other men."

Nampan Bhara kini sudah penuh, setelah sang nutrisionis meletakkan segelas susu vanilla, anak itu bergeser, tanpa menghiraukan tawa dari petugas itu. Sedihnya jadi papa, banyak yang kangen sama mama!

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang