26. Lintasan Waktu

4.3K 946 140
                                    

 "Diminum." Alvela tersenyum kecil, menatap Raga yang duduk menunduk di tepian ranjang.

Mereka berada di pavilion, kamar yang berada di area kebun samping rumah. Terpisah dengan bangunan utama. Dibangun khusus untuk Alvela jika bermalam di HoA.

"Udah, jangan sedih lagi, saya nggak papa." Alvela bersuara lagi. Raga masih layu, masih terbawa emosi tentang mendiang Raga dan masa lalu kelam Alvela.

Raga menghela napas, memandang secangkir teh yang baru saja Alvela berikan.

"Itu teh saya yang bikin sendiri," ujar Alvela, entah kenapa, ia mulai haus pengakuan dari Raga. Ketimbang membuat teh saja, ia ingin mendapat validasi dari suaminya. "Semoga nggak aneh rasanya."

"Selama kamu nggak masukin garam, atau gula satu baskom, secangkir teh ini rasanya akan normal, Al. Kalau nggak dikasih gula, saya malah lebih suka lagi." Raga menyeruput perlahan. Mengecap rasa dan tersenyum sangat kecil sambil menundukan kepala.

Teh buatan Alvela betul-betul kemanisan!

"Kenapa? Gimana?" Alvela maju, duduk di ranjang di samping Raga. "Kemanisan apa kurang manis?"

"Pas, kok." Raga mengangkat wajah, lalu menenggak teh hangat itu hingga tandas seketika. "Tapi, lain kali kalau mau bikin teh buat saya, nggak usah dikasih gula aja, ya, Al."

Alvela mengangguk, mencurigai sebuah dusta yang dibalut oleh penghiburan dari Raga.

Teh itu pasti kemanisan!

"Raga, omong-omong, seumur-umur, saya baru pernah lihat ada laki-laki nangis buat saya." Keduanya nyaris tenggelam dalam diam dan Alvela sengaja menggunakan kesempatan itu untuk bicara jujur.

"Kamu adalah laki-laki pertama yang nangis karena saya, Ga."

Raga sendiri memejamkan mata sejenak. Matanya bahkan masih sembab. Wajahnya jadi agak layu, maka dari itu ia ingin menyendiri dulu di kamar sebelum nanti berbaur dengan anak-anaknya.

"Kenapa kamu sesedih dan semarah itu saat tahu sekelam apa masa lalu saya, Raga? Kamu bahkan tahu kalau saya pernah dilecehkan oleh papa sejak kita menikah."

"Saya nggak nyangka ternyata separah itu, Al. Saya nggak bisa bayangin seperti apa beratnya hidup kamu dulu. Sekarang, saya bahkan paham banget kenapa akhirnya berubah menjadi seperti sekarang. Tapi, saya yakin, kamu masih bisa kembali ke jalan yang benar, Al."

"Iya, saya selalu berharap semua orang bisa memaklumi saya dan keputusan hidup saya, Ga. Saya merasa apa yang saya tempuh kemarin sudah jalan yang paling benar untuk menjaga kewarasan dan keinginan saya untuk terus hidup. Saya memupuk benci itu kepada semua pria di dunia. Bahkan, sama Arayi, saya juga sempat benci banget. Tapi, nggak tahu kenapa, rasa benci itu nggak mempan di kamu."

Raga lagi-lagi tersenyum kecil. Ia meletakkan cangkir ke nakas, lalu duduk miring agar ia dapat melihat wajah Alvela dengan jelas.

"Kamu tahu kenapa saya masih sendiri bahkan sampai saya setua kemarin, Al?"

Alvela menggelengkan kepala. Boro-boro tahu, kenal Raga saja tidak.

"Kamu tahu kenapa dari sekian banyak wanita yang bisa saya manfaatkan di dunia ini, hanya pernikahan bisnis dengan kamu yang bisa saya terima dan saya jalani?"

"Nggak tahu. Mungkin, karena kita berdua sama-sama tahu bahwa kita adalah robot para orang tua?"

Raga menggelengkan kepala. Pria itu meraih tangan Alvela, menggenggamnya begitu erat. Lalu sambil tersenyum dan sedikit meneteskan air mata, pria itu berkata, "Karena saya jatuh cinta sama kamu sejak lama, Al. Sejak dulu."

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang