27. Meniti Bumi

4.3K 918 117
                                    

Pernah menjadi calon gubernur, bukan jaminan bahwa karakter Raga harus selalu kaku, selalu menonjolkan sisi kerja keras, pamer kecerdasan bahkan hingga kelicikan. Atau Raga yang harus menjadi sosok tak terkalahkan, sosok yang tidak boleh menangis, atau sosok yang tidak bisa menjadi manusia pada umumnya.

Raga dan masa lalunya, tentang penyesalannya yang tak mendapat maaf dari ibu hingga sang ibu menutup mata. Raga dan masa lalunya yang hidup sebagai tameng dan tumbal keserakahan orang tua. Raga dan masa lalunya yang tak pernah memiliki hak untuk bersuara. Membuat Raga bahkan sulit mengungkap perasaannya sendiri.

Kecuali, dengan Alvela.

Di depan Alvela, Raga berani membuka aib diri sendiri. Ia menangis, ia berani meminta ini itu, ia berani memohon. Ia juga berani membuka hati.

Bersama Alvela, Raga ingin meraih masa tua yang biasa-biasa saja. Agar jika dia cengeng, ia tidak dihina. Agar jika ia menjadi pria pemuja cinta, ia tidak dicerca.

Raga adalah manusia!

Nasib, pikiran, dan karakter Raga, tidak bisa dipaksakan atas pemikiran orang lain. Tidak bisa dipindah jalurkan hanya atas cara pandang orang lain.

Pernah dengar?

Kesakitan orang berbeda-beda. Jika belum pernah mengalami rasa sakit yang sama, orang tidak bisa dan tidak boleh menyama ratakan perasaan.

"Di internet udah rame kabar kamu keluar dari penjara," kata Alvela pagi itu. Agak berteriak dan sedikit condong ke depan.

Ia sedang berboncengan motor dengan Raga bahkan di saat matahari masih malu-malu muncul.

"Hah? Apa?" Raga balas berteriak, suara Alvela agak tidak terdengar.

Alvela berdecak, lalu kembali berkata dengan mengeraskan suara, "Kabar kamu keluar dari penjara udah rame di internet!"

"Terus, saya harus gimana?" Raga berseru. Pikirnya, rame-rame bodo amat!

Ia sedang di fase menjalani dunia yang ia mau. Ia tidak ingin lagi meniti bumi demi apa mau hati orang lain.

"Gara-gara rame, kamu nggak malu turun ke pasar sama saya, Raga?"

Raga terkekeh, ia agak memiringkan kepala. "Malu kenapa? Saya mau belanja, bukan mau maling. Satu-satunya yang mau saya curi itu, kan, hati kamu! Bukan barang-barang di pasar!"

Alvela cengengesan di jok belakang. Ia maju, melingkarkan tangan ke pinggang Raga. Dingin, menjadi faktor utama. Kalau cinta, mungkin masih butuh proses, bisa datang karena terbiasa.

"Kamu, tuh, mendekati lansia. Kelakuanmu masih kayak anak remaja. Ada yang bilang kamu mirip ABG ingusan yang baru jatuh cinta. Kamu cemen! Kamu letoy jadi laki. Cengeng, nggak jelas."

"Hah? Siapa yang ngomong kayak gitu?"

Alvela tersenyum kuda. "Orang, lah. Masa pisang geprek bisa ngomong kayak gitu."

"Iya, tapi siapa orangnya?"

Sebenarnya, sih, tidak ada. Alvela hanya bercanda saja. Sekalian menggoda Raga yang memang jadi agak manja di usia yang menua. Ia paham, namanya saja, masa kecil kurang bahagia.

Raga masih mending. Masih sempat bahagia meski telat. Orang lain di luar sana? Ada, tuh, yang tidak bahagia sejak lahir hingga liang kubur menyapa.

Tapi biasanya, orang yang tidak bahagia, biasanya akan bikin rusuh di mana-mana.

"Ada, deh!" Alvela tertawa. Suaranya melengking, mengudara bersama angin yang mereka lalui.

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang