42. Berbalas Rindu (End)

7.6K 534 35
                                    

*Part ini copy paste, yaa. Karena banyak yg bilang gak bisa baca di bab yang sebelumnya. Di sini plek ketiplek isinya sama, smpe note2nya pun sama. Hahaha.*

Selamat lebaran semuanya. Mohon maaf lahir dan batin, dari aku yang habis lebaran malah kena tipes  ahahaha. Maaf baru update chapter terakhir versi WP Sehangat Dipeluk Raga. Semoga suka ^^




Alvela paham bahwa dirinya memang bukan manusia yang baik. Dia hidup penuh aib, berlumur dosa. Salat pun hanya saat ingat. Hanya saat Raga yang mengajaknya untuk mengingat akhirat.

Perempuan itu menundukkan kepala. Meremas tangan Raga yang berlumuran darah, sekuat ia bisa. "Kamu nggak akan sejahat itu sampai kamu mau ninggalin saya sendirian, kan, Raga?"

Tim medis di depannya berusaha keras menahan pendarahan dari perut Raga. Juga ada yang sedang memastikan Raga untuk terus bernapas dengan bantuan alat medis lainnya.

Alvela terisak, menatap wajah Raga yang begitu pucat, hatinya ketakutan hingga terasa ia yang sekarat. "Saya sayang sama kamu, Raga. Saya cinta sama kamu," ucapnya dalam hati.

***

Seni mengusap wajah Arayi dengan telaten. Air mata wanita itu masih menetes sesekali. Sementara sang suami yang duduk pasrah di depannya hanya berdiam diri, bagaikan nyawanya tidak ada sama sekali.

"Mas. Terima kasih." Seni tersenyum, mengecup pipi Arayi dengan lembut. "Jangan kayak gini, Mas. Jangan hancur kayak gini."

"Mas takut Bhara kenapa-kenapa, Ni." Arayi menunduk, lalu menyandarkan kepalanya di bahu sang istri. "Bhara adalah hidup mas. Tanpa Bhara, sejak dulu mas pasti udah mati. Bhara yang bikin mas selalu kuat. Bhara adalah alasan mas mampu bertahan begitu jauh dan lama tanpa kamu. Mas benci lihat Bhara sakit, Ni."

Seni mengusap wajah suaminya sambil tersenyum miris. Bila bagi Arayi, Bhara adalah sebab bertahan. Maka bagi Seni, Bhara adalah cermin dari sebuah penyesalan. Bhara yang sudah mengajarkan Seni untuk menjadi manusia pemaaf. Bhara yang memberi tahu Seni bahwa Seni sudah melangkah terlalu jauh tanpa meninggalkan darah dagingnya sendiri.

Kini, waktu 3 tahun belum cukup untuk merenda kerinduan dan menyulam penyesalan itu. Waktu tiga tahun rasanya baru sebentar.

Seni mengecup kepala Arayi, lalu memeluk suaminya dengan begitu erat. "Kita harus kuat demi Bhara, Mas."

***

"Setelah melalui asesmen awal, pemeriksaan fisik, dan tindakan pencitraan ulang, luka tusukannya berlokasi di perut anterior, Bu. Ini lumayan parah. Senjatanya berhasil melukai struktur vital ginjal, dalam hal ini pelvis ginjal. Selain itu, perdarahannya juga parah. Kami butuh golongan darah yang sama dengan Pak Raga untuk mendukung tindakan operasinya."

Alvela mengepalkan tangan, tubuhnya nyaris limbung andai saja tidak ada Belia yang setia menemaninya.

"Kita harus bergerak cepat, Bu. Karena, kondisinya genting."

Perkataan dokter itu membuat Alvela kembali meneteskan air mata.

"Golongan darah Pak Raga AB-. Kita butuh AB-, A-, B-, atau O- untuk dapat menyelamatkan Pak Raga."

Tanpa menunggu lebih lama, Alvela bergerak pergi meski limbung berulang kali.

Belia pun mengejar, meraih tangan Alvela dan membantunya agar tetap tegar. "Kak, Kak Alvela mau ke mana?"

"Kita harus ke tempat Seni, Bel. Raga butuh Seni. Seni pasti bisa bantuin Raga."

Belia segera menahan Alvela, lalu menyeret Alvela ke salah satu koridor di mana Bhara sedang ditangani. "Kak Alvela harus tenang, nggak boleh lari-lari, Kak. Ingat, Kak Alvela sekarang nggak sendirian. Ada bayi Kak Alvela dan Mas Raga di perut Kakak."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang