"Cie, yang sekarang jadi artis!" Hazel berlari kecil saat bertemu dengan Bhara di lobi titik drop off siswa sekolah. Mobil yang dikendarai Seni baru saja melaju. Pemandangannya lengkap dengan 2 batita kembar yang menempelkan wajah di kaca dan tersenyum kepada Bhara sambil melambaikan tangan.
Bhara menyeringai pelan. Tak peduli dengan kebiasaan Hazel yang merangkul sembari menggodanya. "Terbukti, kan? Orang budeg juga bisa famous."
"Iyalah, kamu makai orang dalam."
"Ya, masih mending punya orang dalam. Hari gini mau sok-sokan berjuang? Dari nol? Nolak-nolak privilege? Hiliiih, bicit." Bhara terkekeh sambil berjalan dengan santai menuju kelas.
Mereka kini sudah ada di penghujung masa SMA. Sudah senior year. Bhara dipanggil kakak kelas dan dia senang punya banyak adik kelas yang demen memuja sambil memberikan banyak buah tangan.
Ih, indahnya jadi anak Seni Kaniraras. Modusnya, dari penggemar nitip buat mama. Padahal jelas, cari muka di depan Bhara.
"Tapi, asyik, sih, lumayan. The way you eat, bikin mouthwatering. But, be careful, Bhara. Kalau keseringan makan enak, takutnya kamu gendut. Kan, nggak lucu, ya, udah budeg, gendut." Hazel memeletkan lidah. Lalu berlari mendahului Bhara.
Bhara menghela napas sambil menggelengkan kepala.
Jika dulu ia risi sekali dengan Hazel, sekarang sudah terbiasa. Malah, Bhara senang. Hazel tak segan menghina di depannya. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Hazel dan Praha ternyata teman yang lumayan kooperatif.
Thanks to Pak Yaffi, gara-gara hukuman itu, hubungan Bhara dengan Praha dan Hazel berubah dari lawan jadi teman.
"Good morning, Bhara."
Nah, panjang umur. Yaffi muncul dari belakang. Tampaknya, baru datang ke sekolah juga. Bhara tersenyum sopan lalu menjawab, "Good morning, Sir. To the point please."
Yaffi terbahak keras. Bhara memang kurang ajar. Tapi juga benar. Anak itu bisa tahu kalau dia sedang ingin bicara hal-hal di luar urusan sekolah. Buktinya, belum basa-basi, sudah disuruh to the point.
"Ok. Saya mau nanya, om kamu udah keluar dari penjara?"
Bhara mengangguk. "Udah, dong. Keluar dari penjara berubah jadi pria saleh. Kayaknya nggak sampai sebulan, kalau diajak tahajud terus sama Om Raga, pasti Tante Alvela bisa tobat."
"Tahu dari mana om kamu jadi saleh?" Yaffi tersenyum, debat dengan Bhara selalu menyenangkan.
"Feeling aku, kan, kuat, Pak. Kemarin, kita makan malam bareng di apartemen. Tante sendiri yang cerita. Aku juga lihat, ruangan yang biasa buat studio mini mama udah berubah jadi mushola kecil."
Bhara tertawa dalam hati, itu semua dusta belaka. Tidak ada makan malam, tidak ada cerita-cerita. Murni, ingin Yaffi panas.
"Baguslah kalau om kamu bisa nemenin dan membimbing Alvela dengan baik, Bhar." Yaffi tersenyum lagi. Meski terdengar berat, tapi Bhara terperangah saat mendapati ketulusan di wajah pria itu. "Saya jadi tenang."
"Emang selama ini Pak Yaffi nggak tenang kenapa? Ada yang nyuruh Pak Yaffi buat nggak tenang?"
Yaffi tertawa, ia maju, mengusap kepala Bhara dengan lembut, dan berlalu meninggalkan pemuda itu di tengah koridor kelas.
***
Raga memejamkan mata. Menunduk sambil menikmati rindu yang datang dengan sendu. Ada gelombang air mata yang berusaha ia tahan. Sebuah kisah hidup yang sama sekali tak indah, yang menimpa keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEHANGAT DIPELUK RAGA
RomansaBarangkali, rumah tangga Alvela dan Raga adalah satu-satunya yang aneh di dunia. Raga yang fakir cinta. Dan Alvela yang mengerti cinta namun berada di jalur berbeda. Alvela masih berpikir, sebagai seorang penyuka sesama jenis, ia mungkin tak akan...